Ilmu
itu cahaya",
"Ilmu itu cahaya", demikian petuah masyhur dari
para Hukama' dan orang-orang saleh. Ibnu Mas'ud r.a., salah satu Sahabat Nabi
berwasiat, bahwa hakekat ilmu itu bukanlah menumpuknya wawasan pengetahuan pada
diri seseorang, tetapi ilmu itu adalah cahaya yang bersemayam dalam kalbu.
Kedudukan ilmu dalam Islam sangatlah penting. Rasulullah
saw., bersabda: "Sesungguhnya Allah swt., para malaikat-Nya, penghuni
langit dan bumi hingga semut dalam tanah, serta ikan di lautan benar-benar
mendoakan bagi pengajar kebaikan". (HR. Tirmidzi). Nabi juga bersabda:
"Terdapat dua golongan dari umatku, apabila keduanya baik, maka manusia
pun menjadi baik dan jika keduanya rusak maka rusaklah semuanya, yakni golongan
penguasa dan ulama" (HR. Ibnu 'Abdil Barr dan Abu Naim dengan sanad yang
lemah).
Mengingat kedudukannya yang penting itu, maka menuntut ilmu
adalah ibadah, memahaminya adalah wujud takut kepada Allah, mengkajinya adalah
jihad, mengajarkannya adalah sedekah dan mengingatnya adalah tasbih. Dengan ilmu,
manusia akan mengenal Allah dan menyembah-Nya. Dengan ilmu, mereka akan
bertauhid dan memuja-Nya. Dengan ilmu, Allah meninggikan derajat segolongan
manusia atas lainnya dan menjadikan mereka pelopor peradaban.
Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali
mengarahkan agar para pelajar membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab
ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu bentuk pendekatan batin kepada
Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan membersihkan diri dari
hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu dengan
ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak
dibersihkan. Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia,
sedangkan kalbu yang sakit akan menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi.
Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan tentang Sang Khalik (al-jahlu
billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu. Sedangkan kalbu
yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma'rifatullah), dan vitaminnya
adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal)
Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat
yang benar dan ditujukan untuk memperoleh manfaat di akherat. Sebab niat yang
salah akan menyeret kedalam neraka, Rasulullah saw., bersabda: "Janganlah
kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan menyaingi ulama,
mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang siapa
berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah)
Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas
hidayah Allah pada diri para ilmuwan. "Barang siapa bertambah ilmunya,
tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya semakin jauh dari
Allah", demikian nasehat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena
kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata:
"Jika Anda mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akherat,
niscaya Anda akan paham bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan
diri dengan ilmu itu bukan semata-mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi
karena mereka membutuhkannya sebagai sarana mendekatkan diri kepada
Allah". Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak pandai
bahwa 'kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali
harus diniatkan untuk Allah', berarti bahwa "Ilmu itu tidak mau membuka
hakekat dirinya pada kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah
lafaz-lafaznya dan definisinya". (Ihya' 'Ulumiddin)
Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa
amal adalah junun (gila) dan amal saja tanpa ilmu adalah takabbur
(sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang salah. Sedangkan
takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun tujuannya
benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu
harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep
integritas pendidikan dalam Islam yang berbasis ta'dib. Ta'dib berarti
proses pembentukan adab pada diri peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan
seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang beradab, baik pada dirinya sendiri,
lingkungannya, gurunya maupun pada Penciptanya. Sehingga terjadi korelasi
antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.
Ketika seseorang mempelajari ilmu-ilmu kedokteran, kelautan,
tehnik, komputer dan ilmu-ilmu fardhu kifayah lainnya, maka mereka tidak
memfokuskan niatnya pada nilai-nilai ekonomi, sosial, budaya, politik, atau
tujuan pragmatis sesaat lainnya. Tapi kesemuanya ini dipelajarinya dalam rangka
meningkatkan keimanan dan bermuara pada pengabdian pada Sang Pencipta.
Disorientasi pendidikan diawali dengan hilangnya integritas nilai-nilai ta'dib
dalam pendidikan (sekularisasi). Sekularisasi dalam dunia pendidikan berjalan
dengan dua hal: (a) menempatkan ilmu-ilmu fardhu 'ain yang dianggap tidak
menghasilkan nilai ekonomi dalam skala prioritas terakhir, atau dihapus sama
sekali. Sehingga mahasiswa kedokteran misalnya, tidak perlu dikenalkan
pelajaran-pelajaran agama. (b) mengutamakan pencapaian-pencapaian formalitas
akademik. Sehingga keberhasilan seorang pelajar hanya ditentukan dari hasil
nilai ujian yang menjadi ukuran pencapaian ilmu dan keberhasilan sebuah lembaga
pendidikan.
Maraknya aksi corat-coret baju seragam, iring-iringan konvoi
dan beragam ekspresi negatif lainnya ketika merayakan kelulusan ujian, menjadi
bukti bahwa kualitas pendidikan kita masih difokuskan untuk pemenuhan komuditas
perut yang sarat dengan nilai-nilai hedonis. Padahal Ali bin Abi Talib ra.,
telah mengingatkan: "Barang siapa yang kecenderungannya hanya pada apa
yang masuk kedalam perutnya, maka nilainya tidak lebih baik dari apa yang
keluar dari perutnya". Wallahu a'lam wa ahkam bis shawab.
No comments:
Post a Comment