SEKOLAH RENDAH ISLAM DARUL THULAB (PENDIDIKAN AGAMA DAN TAHFIZ AL QURAN)

SEKOLAH RENDAH ISLAM DARUL THULAB (PENDIDIKAN AGAMA DAN TAHFIZ AL QURAN)
SEKOLAH RENDAH ISLAM DARUL THULAB (PENDIDIKAN AGAMA DAN TAHFIZ AL QURAN)

BERSAMA KITA MELAHIRKAN GENERASI BERILMU DAN BERAMAL DAN BERAKHLAK

خيركم من تعلم القران وعلمه

SEBAIK-BAIK KAMU IALAH ORANG YANG BELAJAR AL-QURAN DAN MENGAJARKANNYA



Wednesday, May 30, 2012

jom kta berehat sambil baca Kisah Kematian Nabiyullah Adam Alaihis Salam

Kisah Kematian Nabiyullah Adam Alaihis Salam


Kisah ini memberitakan kepada kita tentang saat-saat terakhir kehidupan bapak kita Adam dan keadaannya pada saat sakaratul maut. Para malaikat memandikannya, memberinya wangi-wangian, mengkafaninya, menggali kuburnya, menshalatkannya, menguburkannya, dan menimbunnya dengan tanah. Mereka melakukan hal itu untuk memberikan pengajaran kepada anak cucu sesudahnya, tentang bagaimana cara menangani orang mati.
Teks Hadis
Dari Uttiy bin Dhamurah As-Sa'di berkata, "Aku melihat seorang Syaikh di Madinah sedang berbicara. Lalu aku bertanya tentangnya." Mereka menjawab, "Itu adalah Ubay bin Ka'ab." Ubay berkata, "Ketika maut datang menjemput Adam, dia berkata kepada anak-anaknya, 'Wahai anak-anakku, aku ingin makan buah surga.' Lalu anak-anaknya pergi mencari untuknya. Mereka disambut oleh para malaikat yang telah membawa kafan Adam dan wewangiannya. Mereka juga membawa kapak, sekop, dan cangkul.
Para Malaikat bertanya, 'Wahai anak-anak Adam, apa yang kalian cari? Atau apa yang kalian mau? Dan ke mana kalian pergi?' Mereka menjawab, 'Bapak kami sakit, dia ingin makan buah dari surga.' Para malaikat menjawab, 'Pulanglah, karena ketetapan untuk bapak kalian telah tiba.' Lalu para malaikat datang. Hawa melihat dan mengenali mereka, maka dia berlindung kepada Adam. Adam berkata kepada Hawa, 'Menjauhlah dariku. Aku pernah melakukan kesalahan karenamu. Biarkan aku dengan Malaikat Tuhanku Tabaraka wa Taala.' Lalu para malaikat mencabut nyawanya, memandikannya, mengkafaninya, memberinya wewangian, menyiapkan kuburnya dengan membuat liang lahat di kuburnya, menshalatinya. Mereka masuk ke kuburnya dan meletakkan Adam di dalamnya, lalu mereka meletakkan bata di atasnya. Kemudian mereka keluar dari kubur, mereka menimbunnya dengan batu. Lalu mereka berkata, 'Wahai Bani Adam, ini adalah sunnah kalian.'"
Takhrij Hadis
Hadis ini diriwayatkan oleh Abdullah bin Imam Ahmad dalam Zawaidul Musnad, 5/ 136.
Ibnu Katsir setelah menyebutkan hadis ini berkata, "Sanadnya shahih kepadanya." (Yakni kepada Ubay bin Ka'ab). (Al-Bidayah wan Nihayah, 1/98).
Al-Haitsami berkata, "Diriwayatkan oleh Abdullah bin Ahmad. Rawi-rawinya adalah rawi-rawi Hadis shahih, kecuali Uttiy bin Dhamurah. Dia adalah rawi tsiqah." (Majmauz Zawaid, 8/199).
Hadis ini walaupun mauquf(sanadnya tidak sampai pada Nabi Shallallahu Alahi wa Sallam) pada Ubay bin Kaab, tetapi mempunyai kekuatan hadis marfu', karena perkara seperti ini tidak membuka peluang bagi akal untuk mengakalinya.
Penjelasan Hadis
Hadis ini menceritakan tentang bapak kita, Adam, manakala maut datang menjemputnya, Adam rindu buah surga. Ini menunjukkan betapa cinta Adam kepada surga dan kerinduannya untuk kembali kepadanya. Bagaimana dia tidak rindu surga, sementara dia pernah tinggal di dalamnya, merasakan kenikmatan dan keenakannya untuk beberapa saat.
Bisa jadi keinginan Adam untuk makan buah surga merupakan tanda dekatnya ajal. Sebagian hadis menyatakan bahwa Adam mengetahui hitungan tahun-tahun umurnya. Dia mengitung umurnya yang telah berlalu. Nampaknya dia mengetahui bahwa tahun-tahun umurnya telah habis. Perpindahannya ke alam akhirat telah dekat. Dan tanpa ragu, Adam mengetahui bahwa anak-anaknya tidak mungkin memenuhi permintaannya. Mana mungkin mereka bisa menembus surga lalu memetik buahnya. Anak-anak Adam juga menyadari hal itu. Akan tetapi, karena rasa bakti mereka kepada bapak mereka, hal itulah yang mendorong mereka untuk berangkat mencari.
Belum jauh anak-anak Adam meninggalkan bapaknya mereka telah dihadang oleh beberapa malaikat yang menjelma dalam wujud orang laki-laki. Mereka telah membawa perlengkapan untuk menyiapkan orang mati. Para malaikat memperagakan apa yang dilakukan oleh kaum muslimin terhadap jenazah seperti pada hari ini. Mereka membawa kafan, wewangian, juga membawa kapak, cangkul, dan sekop yang lazim diperlukan untuk menggali kubur.
Ketika anak-anak Adam menyampaikan tujuan mereka dan apa yang mereka cari, para malaikat meminta mereka untuk pulang kepada bapak mereka, karena bapak mereka telah habis umurnya dan ditetapkan ajalnya.
Manakala para malaikat maut datang kepada Adam, Hawa mengenalinya sehingga dia berlindung kepada Adam. Sepertinya Hawa hendak membujuk Adam agar memilih hidup di dunia, karena para rasul tidak diambil nyawanya sebelum mereka diberi pilihan (antara kehidupan dunia dan akhirat-pent) sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam kepada kita. Adam tidak menggubris dan menghardiknya dengan berkata, "Menjauhlah dariku, karena aku pernah melakukan dosa karenamu." Adam mengisyaratkan rayuan Hawa untuk makan pohon yang dilarang semasa keduanya berada di Surga.
Para Malaikat mengambil ruh Adam. Mereka sendirilah yang mengurusi jenazahnya dan menguburkannya, sementara anak-anak Adam melihat mereka. Para malaikat itu memandikannya, mengkafaninya, memberinya wangi-wangian, menggali kuburnya, membuat liang lahat, menshalatinya, masuk ke kuburnya, meletakkannya di dalamnya, lalu mereka menutupnya dengan bata. Kemudian mereka keluar dari kubur dan menimbunkan tanah kepadanya. Para Malaikat mengajarkan semua itu kepada anak-anak Adam. Mereka berkata, "Wahai Bani Adam, ini adalah sunnah kalian." Yakni, cara yang Allah pilih untuk kalian dalam hal mayat kalian.
Cara ini adalah syariat umum yang berlaku untuk seluruh rasul dan semua orang beriman di bumi ini, mulai sejak saat itu sampai sekarang. Dan cara apa pun yang menyelisihinya berarti menyimpang dri petunjuk Allah, yang besar kecilnya tergantung pada kadar penyimpangannya. Barangsiapa melihat tuntunan kaum muslimin dalam urusan jenazah yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam, niscaya dia pasti melihat kesamaan antara hal itu dengan perlakuan para malaikat kepada Adam.
Sepanjang sejarah, petunjuk ini telah banyak diselisihi oleh sebagian besar umat manusia. Ada yang membakar orang mati. Ada yang membangun bangunan-bangunan megah, seperti pyramid, untuk mengubur orang mati dengan meletakkan makanan, minuman, mutiara dan perhiasan bersamanya. Ada yang meletakkan mayit di kotak batu atau kayu. Semua itu menuntut biaya yang mahal dan hanya membuang-buang energi untuk sesuatu yang tidak berguna. Dan yang paling utama, semua itu telah menyelisihi petunjuk yang Allah syariatkan kepada mayit Bani Adam.
Pelajaran-Pelajaran dan Faedah-Faedah Hadis
  1. Disyariatkan menyiapkan mayit dan menguburkannya seperti disebutkan di dalam hadis.
  2. Sunnah–sunnah terhadap mayit yang demikian itu adalah petunjuk semua rasul dalam setiap syariat mereka.
  3. Pengajaran malaikat kepada anak-anak Adam tentang sunnah ini dengan ucapan dan perbuatan.
  4. Semua cara menangani mayit selain cara yang disebutkan di dalam hadis di atas adalah penyimpangan dari manhaj dan petunjuk Allah.
  5. Keutamaan bapak kita Adam, di mana para malaikat mengurusi jenazahnya, menshalatkannya dan menguburkannya.
  6. Kemampuan para malaikat untuk menjelma menjadi manusia dan melakukan sesuatu yang dilakukan oleh manusia.
  7. Sudah munculnya beberapa peralatan sejak zaman manusia pertama, seperti kapak, cangkul dan sekop.
  8. Seseorang harus berhati-hati terhadap isterinya yang bisa menjadi penyebab penyimpangannya. Adam memakan buah karena hasutan Hawa. Dan Allah telah meminta kita agar berhati-hati terhadap sebagian isteri dan anak-anak kita, "Sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah terhadap mereka." (At-Taghabun:14).

Tuesday, May 29, 2012

Mari Bertaubat dan Istighfar, Sebelum Terlambat

Mari Bertaubat dan Istighfar, Sebelum Terlambat






MANUSIA di manapun, baik mereka yang lebih dulu hadir ke dunia maupun yang akan datang kemudian, tidak pernah terlepas dari penyakit lalai (alpa). Bagai peristiwa sambung-menyambung, sifat alpa per-tama telah dilakukan oleh Nabiyullah Adam as dan Siti Hawa dengan memakan buah Khuldi. Maka tepatlah sebuah ung-kapan yang berkata: “insan ashluhu nisyan”, asal kata insan adalah `an-nisyan (alpa). Ungkapan lain mengatakan: “insan mahallul khato wan nisyan”, pada diri manusia itu tempatnya salah dan lupa.

Akibat kealpaan itu, manusia dapat terperangkap melakukan kesalahan, pelanggaran, sampai kepada kejahatan.

Tingkat pelanggaran dalam Islam dikenal dengan istilah `maksiat'. Setiap orang dengan kealpaannya itu dapat setiap saat terperangkap pada jurang kemaksiatan. Hanya para Nabi dan Rasul saja yang terpelihara dari sifat tercela itu,lantaran mereka adalah utusan Allah yang dikenal memiliki sifat makshum (terpelihara dari kemaksiatan).

Satu hal yang juga fitrah dalam diri manusia adalah adanya kecenderungan mereka pada perasaan kebenaran (recht-gevoel). Istilah itu bisa pula berarti `perasaan hukum'. Manusia dalam keadaan bagaimanapun selalu diliputi oleh hukum dan berhajat kepada hukum. Mereka ingin menegakkannya, walaupun terkadang tuntutan hawa nafsu bersikeras menolaknya. Kalangan ahli hukum menyebut hal ini sebagai `hukum ada di mana-mana'.

Oleh karena perasaan ingin tegaknya hukum itulah, manusia berupaya untuk mewujudkan keamanan, ketenteraman, dan ketertiban untuk diri, keluarga, dan lingkungannya. Dengan demikian akan terwujud aturan main kehidupan yang dapat berbeda dengan binatang, di mana yang kuat dapat dengan sesuka hatinya menguasai dan memakan si lemah.

Kehadiran utusan Allah yakni para Nabi dan Rasul dengan dilengkapi kitab suci-Nya tidak lain adalah untuk menjelaskan kepada manusia agar tidak terjadi hal yang demikian itu. Manusia bukanlah hewan yang dengan seenaknya bisa saling memangsa satu sama lain.

Mereka menjelaskan jalan mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh. Di sini agama memberi peringatan `amar makruf nahi munkar' dengan turunnya utusan-Nya itu. Kepada mereka yang melanggar, Allah Swt memberi sanksi hukum kepada mereka berupa dosa. Sedang kepada mereka yang berbuat kebaikan Allah akan diberi ganjaran pahala.

Dosa dan pahala

Tidak ada salahnya kita mengkaji ulang apa yang dimaksud dosa dan pahala. Ini bukan perkara sepele. Bukankah keduanya selalu berkaitan dengan kehidupan kita?
Efek-efeknya senantiasa menyertai kita kapan dan di manapun juga? Akibat perbuatan dosa, kita menjadi murung, sedih, kecewa, atau terkadang kehilangan gairah hidup. Jumlah rupiah yang ada di dompet dan besarnya simpanan uang di bank, rumah yang indah, ladang yang luas, tidak membuat hidup kita berbahagia akibat dosa yang kita lakukan. Itulah efek dosa.

Sebaliknya, kita terkadang mendapati hidup yang penuh ketenteraman, bahagia —meskipun kata orang kita hanya `cukup hidup dengan nasi dan garam'—tetapi hal itu tidak mengurangi rasa senang, tenteram, dan bahagia yang ada di hati kita. Hidup pun penuh optimisme. Hal ini merupakan buah rasa syukur kita terhadap karunia Allah yang yang telah kita peroleh. Kemudian kita telah berupaya dengan sekuat tenaga menjauhi perbuatan dosa dan maksiat. Kita berjalan di atas jalan keridhaan-Nya.

Dampak-dampak dosa dan pahala sangat riil dalam hidup. Pahala dan dosa bukan sekadar kalimat berita, tapi hal yang sangat berkaitan dengan kehidupan kita, senang-susah, bahagia atau menderita.

Allah Swt berfirman:
فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَهُ
وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ
“Barangsiapa mengerjakan perbuatan baik walapun sebesar zarrah, niscaya Ia akan melihatnya. Dan barangsiapa yang mengerjakan perbuatan jahat meskipun seberat zarrah, niscaya Ia akan melihatnya.” (QS: Al-Zal-zalah:7-8)
Dalam keterangan salah satu hadits disebutkan bahwa raut wajah para pendosa akan diselimuti kabut hitam, sehingga pandangannya tidak bercahaya. Tak ada kesejukan manakala orang memandangnya.
Suatu saat dijumpai seorang yang dalam hidupnya melulu diwarnai kesenangan. Setiap hari tempat parkirnya di diskotik, minumannya arak, makanannya barang haram, teman-temannya para perampok, dan hiburannya wanita pelacur. Suatu saat ketika ajal akan datang menjemputnya, ia kembali ke kampung halaman. Masyarakat desa yang tidak tahu-menahu perilaku si Fulan ketika di negeri rantau, heran melihat tabiat mengenaskan si Fulan.
Di antara rasa sakitnya di pembaringan, ia menangis sejadi-jadinya sambil bersumpah-serapah. Puluhan orang yang melayat kewalahan memegangi tubuhnya yang meronta-ronta dengan hebat. Tangisnya melolong-lolong, diiringi teriakan minta ampun.
Setelah dengan susah payah para pelayat memegangi dan menenangkan, akhirnya si Fulan berangkat ke alam baka dengan tatapan mata menyeramkan. Naudzubillah!
Pada saat yang lain, kita dapati si shalih dalam suasana yang berbeda. Detik-detik menjelang akhir hayatnya (mutadhor), dengan sabar dia mengikuti talkin yang dibacakan ke dalam telinganya. Raut mukanya cerah. Dari celah bibirnya selalu terucap kalimat istighfar dan kalimat tauhid, “La ilaha illah”.
Pada saat-saat terakhir hidupnya ia rasakan akan tiba, segera dikumpulkan segenap anggota keluarga dan diwasiatkan untuk senantiasa mentaati perintah agama, tidak saling bermusuhan satu sama lain. Kemudian dengan damai ia kembali ke haribaan Illahi Rabbi dengan penuh ikhlas. Wajah jasad itupun tampak berseri-seri di tinggal roh yang selama ini bersemayam dalam dirinya. Ia pergi dengan khusnul khatimah.
Memohon ampun dan bertaubat
Selagi nafas kita masih ada, pintu ampunan Tuhan dibuka seluas langit dan bumi. Allah Swt berfirman;
وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Bersegeralah memohon ampunan dari Tuhanmu, dan mohon surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan untuk orang yang bertaqwa”. (QS Ali Imran: 133)
وَلِلّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأَرْضِ يَغْفِرُ لِمَن يَشَاءُ وَيُعَذِّبُ مَن يَشَاءُ وَاللّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Kepunyaan Allah apa saja yang ada di langit dan di bumi. Diampuni-Nya siapa yang dikehendaki-Nya, dan disiksa siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Ali Imran: 129)

Memohon ampun dan bertaubat hendaknya tidak dilakukan dengan main-main atau setengah-setengah. Setengahnya insyaf, setengahnya lagi ingin kembali ke pekerjaan lamanya. Ini sama halnya dengan membiarkan benih penyakit jahat tumbuh kembali dalam diri. Bagi orang yang bertaubat mesti menanamkan niat yang kuat dalam dirinya untuk meninggalkan pekerjaan keliru sejauh-jauhnya. Tutup rapat-rapat lembaran hitam itu dan jangan coba membukanya kembali.

Taubatan nashuha (taubat yang baik) laksana seseorang membuang kotoran yang keluar dari perutnya sendiri. Kendati dia tahu persis asal muasal kotoran itu berasal dari makanan yang enak, tetapi setelah berbentuk kotoran ia tidak akan mau melihatnya lagi apalagi disuruh untuk (maaf) memeganginya. Ia bahkan berusaha menjauhi sejauh-jauhnya. Menengokpun tak sudi lagi.

Di samping itu, harus benar-benar bersih, ingin kembali ke jalan lurus yang diridhai Allah. Tidak terpengaruh unsur-unsur lingkungan atau fisik. Seorang pelacur yang sudah renta, kemampuan badaniahnya lemah, wajah tidak lagi menarik, yang ingin bertaubat tetapi dalam hatinya masih tertanam keinginan ke sana, taubat yang seperti ini masih dinodai oleh kotoran. Ibaratnya, kaki kanan ingin melangkah ke surga sedang kaki kirinya tetap berdiam di neraka. Taubat seperti ini adalah taubat yang menggantung, yang urusannya hanya Allah Yang Mahatahu.

Agar kita selamat, Rasululah menuntun kita untuk selalu mengoreksi diri dengan beristighfar setiap saat. Beliau saw mengajarkan, “Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku. Tak ada Tuhan kecuali Engkau yang telah menjadikan aku, dan aku adalah hamba-Mu, dan aku tidak punya kemampuan untuk melaksanakan janji-Mu. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan/kejahatan yang telah aku lakukan. Aku mengakui kepada-Mu atas nikmat yang Engkau berikan kepadaku, dan aku mengakui pula terhadap dosa-dosaku. Maka ampunilah aku (ya Allah), sesungguhnya tak ada yang dapat memberi ampunan kecuali Engkau”. (HR Bukhari dari Syaddad bin Aus ra)

Syeikh Imam Nawawi berkata, ”Siapa yang mengucapkan sayyidul istighfar ini di waktu siang dengan yakin, bila dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia adalah ahli surga. Siapa yang mengucapkannya di waktu malam sebelum waktu Shubuh, lalu meninggal dunia pada malam itu, maka dia adalah ahli surga.” *

Jauhi Azab dengan Cara Menolak Maksiat

Jauhi Azab dengan Cara Menolak Maksiat


SEORANG aktivis Islam Liberal (JIL),  menulis di sebuah akun Twitter mempertanyakan azab Allah Subhanahu Wata’ala kepada kaum Luth. "Kalau memang benar Kaum Luth diazab, kenapa Allah tidak menurunkan azab yang sama di zaman ini?”
Dengan kata lain, ia secara ragu mempertanyakan janji Allah Subhanahu Wata’ala yang tertulis dalam al-Quran Surat Huud tersebut. Sesungguhnya, jika dia memang benar-benar telah bersaksi sebagai seorang, Muslim tentu ia wajib mengimani dan meyakini kebenaran al-Qur’an. Sebab di antara Rukun Islam yang lima, nomor satu adalah; mengucap dua kalimat syahadat yang inti nya menerima bahwa Allah itu tunggal dan Nabi Muhammad itu rasul Allah. Menerima Allah berarti menerima sebua janji Allah yang telah disampaikan melalui al-Quran, di mana yang jelas-jelas menyatakan kaum Luth benar-benar diazab.
فَلَمَّا جَاء أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi,” (QS. Huud [11]:82)
وَقَوْمَ نُوحٍ مِّن قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا هُمْ أَظْلَمَ وَأَطْغَى
وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَى
“Dan kaum Nuh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang paling zalim dan paling durhaka. Dan negeri-negeri kaum Luth yang telah dihancurkan Allah.” (QS. an-Najm [53]:52-53)
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِباً إِلَّا آلَ لُوطٍ نَّجَّيْنَاهُم بِسَحَرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu, kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing,” (QS. al-Qomar [54]:34).
Pertanyaan tokoh JIL di atas paling tidak mengindikasikan dua hal, pertama dia tidak yakin kaum Luth diazab Allah, dan yang kedua —ini adalah tujuan dari pertanyaan tersebut—  dia menjustifikasi dan mempromosikan perbuatan menyimpang homoseksual. Sekali lagi jika dia memang benar-benar Muslim tentu selain meyakini adanya azab terhadap kaum Luth juga berusaha mencegah azab Allah tidak turun bagi dirinya sendiri dan orang lain/orang banyak baik di dunia maupun di akhirat dengan cara tidak menjustifikasi dan mempromosikan perbuatan-perbuatan maksiat.
Memelihara Keluarga
Tak seorangpun mengharapkan azab menimpa diri, keluarga, masyarakat dan bangsanya, untuk itu logis jika menjadi kewajiban setiap diri berusaha menolak dan tidak mendukung dan mempromosikan maksiat agar jauh dari azab karena siksaan Allah tidak hanya menimpa orang-orang yang berbuat maksiat tapi juga orang-orang lain yang baik-baik yang tidak berbuat maksiat.
Karena itulah Allah memerintahkan pada kita menjaga diri agar tidak tergelincir. Perintah ini disampaikan kepada semua pihak, baik yang imannya lemah atau yang mengaku imannya kuat sekalipun.
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. al-Anfaal [8]:25)
Bukannya justru mendukung maksiat seperti memperkuat statement bahkan mendukung kemaksiatan dengan cara menjaga keamanan dalam acara-acara maksiat yang sedang berlangsung.
Sebagai seorang Mukmin, kita harus punya keyakinan, bahwa azab yang ditimpakan Allah kepada manusia tidaklah terbatas berupa bencana-bencana alam seperti banjir, gempa dan angin kencang, tapi azab Allah juga berupa penghidupan sempit berupa bencana-bencana dalam bidang ekonomi, sosial dan politik seperti yang hingga kini masih melilit diri kita bangsa Indonesia.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat  dalam keadaan buta".” (QS. Thaahaa [20]:124)
Azab Allah juga berupa musibah-musibah dalam bentuk lain seperti kecelakaan kereta api, jatuhnya pesawat, banjir, gempa dll.
Sepatutnya kepedulian untuk menolak maksiat dan kemunkaran guna menjauhi azab kita jadikan kebiasaan hidup dan menjadi bagian dari gaya hidup kita.  Usaha-usaha kita dalam menolak maksiat dan kemungkaran dengan segala cara dan media menunjukan kualitas keimanan kita. Tidak peduli dan mendiamkannya dengan diiringi perasaan benci saja berarti iman yang kita miliki adalah selemah-lemahnya iman, apatah lagi tidak peduli dan mendiamkannya tanpa diiringi perasaan benci (biasa-biasa saja) atau malah menyukainya, bisa-bisa di dalam hati kita sama sekali tidak ada iman sama sekali. Na’udzubillah min dzalik.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Allah menginformasikan mereka yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah orang-orang yang beruntung. Sebaliknya mereka yang tidak peduli dan tidak melakukan apa-apa adalah orang-orang yang tidak beruntung.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Hendaklah di antara kalian ada segolongan umat yang memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Dan merekalah termasuk orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]:104)
Semoga diri dan keluarga kita terhindar dari kemaksiatan dan fitnah zaman ini. Serta dijauhkan dari siksa dan azab Allah.*

Sunday, May 27, 2012

Kurikulum Pendidikan dengan Konsep al-Ghazali

Kurikulum Pendidikan dengan Konsep al-Ghazali



IMAM al-Ghazali merupakan ilmuan Muslim pertama yang mengkonsep ilmu secara sistematis menjadi dua; yaitu ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.  Konsep ini ditulis dalam salah satu magnum opusnya, Ihya’ Ulumuddin jilid pertama. Yang menarik, kitab ini ditulis pada saat umat Islam sedang menghadapi perang salib. Hebatnya, kitab itu mampu menyadarkan dan menghidupkan tradisi keilmuan umat Islam pada masa itu. Poin penting yang menjadi kritikan Imam al-Ghazali adalah pengajaran ilmu-ilmu agama yang materialistik dan mudahnya konsep-konsep asing masuk dalam pemikiran umat Islam.
Imam al-Ghazali berjasa dalam mengajari umat bagaimana ‘membaca’ pemikiran asing dengan konsep Islam. Beliau termasuk ulama’ yang ensiklopedis. Pada usianya yang masih 33 tahun al- Ghazali telah mencapai gelar professor (al-Shaykh) di perguruan Nizamiyah, Baghdad.
Dalam kitabnya Tahafut Falasifah, ia menyajikan kritik terhadap pemikiran paripatetik (filsafat Yunani) mengenai konsep Tuhan, kejadian alam, dan konsep manusia. Ia membersihkan konsep-konsep yang Aristotelian, untuk dikembalikan kepada Islam.

Bersama dengan karya-karya lainnya -- misalnya  al-Munkidz min al-Dhalal, Bidayatul Hidayah, dan lain-lain --  kitab ini sepertinya sengaja ditulis dalam rangka mencangankan sistem pendidikan Islam “berkarakter”. Imam al-Ghazali menilai, bahwa sistem pendidikan yang berkembang pada masa itu masih menyimpang jika ditinjau dari segi tujuan dan targetnya.


Dalam kritiknya, Imam al-Ghazali menilai, pendidikan saat itu lebih memproduksi ‘tukang’ dari pada menjadi ilmuan. Memproduksi ulama’ dunia daripada ulama’ akhirat. Dalam pandangannya, sistem ini menjadi titik lemat umat Islam saat itu, baik dari segi keilmuan, politik dan peradaban.
Fenomena itu tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang terjadi dalam pendidikan kita saat ini. Tidak sedikit pelajar-pelajar yang prestasi di bidang sains dan teknologi. Namun belum banyak yang mampu mensinergikan dengan pengetahuan agama. Banyak ditemui seorang insinyur atau peneliti sains, akan tetapi malas beribadah. Dan yang paling banyak adalah, mereka memilih profesi tersebut dan menekuni ilmu itu hanya untuk menambah kekayaan. Mereka memilig fakultas kedokteran agar kelak menjadi kaya.


Akibatnya, kuliah bukan karena mencintai ilmu atau menunaikan kewajiban fardhu kifayah, tapi sekedar berburu uang. Cara pandang demikian dapat dinilai kurang beradab. Sebab melepaskan dimensi ketuhanan dalam aktifitas keilmuan. Cara pandang ini sangat rawan menjadikan ilmuan yang ‘menghalalkan’ segala cara dalam aktifitasnya.
Pandangan yang tidak berkarakter tersebut disebabkan oleh sistem pendidikan yang  meninggalkan ilmu fardhu ‘ain. Sedangkan ilmu fardhu kifayah -- yang mereka tekuni -- tidak dilandasi oleh ilmu fardhu ‘ain.
Padahal, kedua macam ilmu itu semestinya berjalan sinergis. Fardhu ‘ain sebagai falsafah dasar dari ilmu fardhu kifayah. Ilmu fardhu kifayah ditopang oleh ilmu fardhu ‘ain.
Persoalan krusial lainnya, baik guru maupun pelajar Muslim belum mengetahui ilmu-ilmu yang masuk kategori fardh ‘ain dan mana ilmu yang masuk kelompok fardhu kifayah.


Ilmu fardhu ‘ain adalah ilmu yang wajib bagi tiap-tiap individu Muslim mengetahuinya. Mencakup ilmu yang berkenaan dengan i’tiqad (keyakinan). Ilmu-ilmu yang menyelamatkan dari keraguan (syakk) iman.
Tujuan ilmu ini untuk menghilangkan kekeliruan iman, dan bisa membedakan antara yang haq dan bathil.
Dimensi lain – dari ilmu fardhu ‘ain – adalah ilmu-ilmu yang berkenaan dengan perbuatan yang wajib akan dilaksanakan. Misalnya, orang yang akan berniaga wajib mengetahui hukum-hukum fiqih perniagaan, bagi yang akan menunaikan haji wajib baginya memahami hukum-hukum haji. Dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang harus ditinggalkan seperti sifat-sifat tidak terpuji dan lain-lain.
Sedang ilmu fardhu kifayah adalah ilmu yang wajib dipelajari oleh sebagian masyarakat Islam, bukan seluruhnya. Dalam fardhu kifayah, kesatuan masyarakat Islam secara bersama memikul tanggung jawab kefardhuan untuk menuntutnya (Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin jilid 1).


Dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardlu kifayah sangat signifikan menunjang pembaharuan pendidikan yang lebih beradab. Dalam perspektif Imam al-Ghazali, pengajaran yang baik itu bukan bersifat juz’i (parsial) tapi kulli (komprehensif). Kulli maksudnya, kurikulum yang membentuk kerangka utuh yang menggabungkan seluruh ilmu agama seperti tauhid, tasawuf, dan fikih. Menggabungkan antara ilmu agama dengan keterampilan duniawi.
Tujuan kurikulum ini adalah membentuk mental ilmuan yang holisitik – pakar di bidang ilmu aqli sekaligus tidak buta ilmu syar’i.


Berkenaan dengan konsep tersebut di atas, pembaharuan kurikulum – dengan mengacu pada konsep al-Ghazali -- tampaknya menjadi kebutuhan pendidikan Islam Indonesia.


Sangat langka ditemui seorang ilmuan sekaligus agamawan, ulama sekaligus cendekiawan. Padahal, dalam konteks kontemporer sekarang, profil ulama sekaligus cendekiawan atau ilmuan sekaligus agamawan merupakan kebutuhan. Banyak fisikawan yang cerdas, namun belum banyak memahami ilmu syar’i, atau sebaliknya ulama tapi minim wawasan ilmu-ilmu fardhu kifayah, seperti ilmu peradaban dan filsafat Barat, astronomi, sains dan lain-lain. Dalam konteks sekarang – apalagi – ilmu-ilmu peradaban asing perlu diketahui ulama’, agar teliti dan kritis jika ada konsep-konsep ‘asing’ yang masuk ke dalam pemikiran umat.


Konsep kurikulum al-Ghazali lantas diperjelas oleh Syed Naquib al-Attas dalam bukunya Risalah untuk Kaum Muslimin. Menurut al-Attas, kekacauan ilmu terjadi ketika seorang pelajar mendapat pengajaran yang tidak tepat mengenai konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Kesalahan itu terletak pada strategi pembelajaran. Yakni cara mengajarkan ilmu fardhu kifayah yang melepaskan secara total dengan konsepsi ilmu fardhu ‘ain. Apalagi pengajar-pengajar ilmu fardhu ‘ain mengkelirukan. Yang terjadi adalah pelajar Muslim mudah digoncangkan adab dan keimanannya (Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum Muslimin).
Dalam penjelasan al-Attas, kegoncangan adab terjadi ketika terjadi ketimpangan praktik konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Yakni mendahulukan ilmu fardhu kifayah sebelum melandasinya dengan ilmu fardhu ‘ain. Semua ilmu pengetahuan (ilmu fardhu kifayah) harus diajarkan berdasar kepada dan sesuai dengan cara serta tujuan dari ilmu fardhu ‘ain.
Maka dalam konteks pendidikan sekarang, diperlukan segera desain kurikum pendidikan Islam yang berasaskan dinamisasi konsep fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Dinamisasi demikianlah yang akan membentuk karakter secara kuat terhadap pribadi anak didik. Berbeda dengan karakter non-Muslim. Seorang ateis bisa saja memiliki karakter-karakter umum; jujur, disiplin, bertanggung jawab, berani dan pemaaf. Namun sifat-sifat itu tidak atas dasar iman kepada Allah.
Bagi Muslim, karakter tersebut pasti dan harus didasari atas perintah dan keimanan kepada-Nya. Karenanya karakter orang beriman lebih kuat dan konsisten daripadan minus iman. Inilah yang disebut adab. Seorang ulama terkenal, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, mengatakan agar seorang Muslim berakhlak dengan perilaku terpuji, maka akidahnya harus terbebas dari penyimpangan. Konsep etika dalam Islam terbungkus dalam bingkai keyakinan yang benar (al-Ghunyah li Thalibi Tariqil Haq). Karena akidah, mengontrol aktifitas manusia. Jadi, adab itu terkait dengan tauhid. Karena, adab kepada Allah – sebagai tingkat adab tertinggi – mewajibkan manusia tidak mensekutukan-Nya.  Oleh sebab itu, dengan adab, karakter itu lebih terkontrol dan terdisiplin secara ruhani.
Dalam pengajaran, pendidikan berkarakter lebih tepat dipraktikkan dengan konsepsi ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah. Sebab, jika ilmu fardhu kifayah berelemen dasar fardhu ‘ain, maka dalam pengajaran ilmu-ilmu yang disebut fardhu kifayah tidak melepaskan dari dimensi ketuhanan. Yang berarti, karakter keilmuannya berdasarkan iman.
Tentu saja penerapan demikian tidak mudah. Namun secara mendasar dapat dimulai dengan seperti ini; pertama-tama di dalam pendidikan dasar dan menengah, pengajaran ilmu fardhu ‘ain diperkuat. Formatnya, materi-materi porsi dan praktik pengajarannya akidah diperkuat.
Di antara empat bidang penting yang ditulis oleh Imam al-Ghazali sebagai bahan pengajaran, satu di antaranya tentang membangun akidah sebagai bidang teratas. Karena bidang ini termasuk yang wajib bagi individu-individu Muslim mengetahuinya.
Tiga bidang lainnya berupa ilmu yang diajarkan setelah bidang pertama, adalah kitab tentang tarbiyah ruhiyah, fiqih dan pola hubungan dengan masyarakat (sosiologi), terakhir  bidang hikmah (mencakup ilmu-ilmu teknis, managemen dan pengetahuan-pengetahun yang dibutuhkan oleh masyarakat). Bidang ini termasuk dalam lingkaran ilmu fardhu kifayah.
Keempat bidang tadi dapat diajaran secara sinergis. Bidang pertama menjadi falsafah dasar bagi pengajaran ketiga bidang setelahnya.
Di sekolah menengah misalnya, kurikulum akidah akhlak, fikih, biologi, fisika dan lain-lain landasannya adalah pengetahuan tentang i’tiqad Islam. Atau secara bersama disinergikan dengan bidang kedua -- yakni pendidikan ruhiyah. Bidang kedua penting dalam memperkuat karakter ilmuan.
Tujuan bidang kedua adalah membebaskan pelajar/ilmuan dari belenggu nafsu -- misalnya takabbur, riya’, materialis, berbohong, dan lain-lain -- agar bertindak sesuai dengan perintah Allah. Sangat mungkin mengajar biologi atau fisika dengan diramu materi-materi tarbiyah ruhiyah plus akidah Islam. Pada level yang pendidikan tinggi, mahasiswa diberi rangsangan untuk menggali konsep-konsep Islam yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Dengan desain seperti ini bukan tidak mungkin kelak akan lahir, dokter yang fakih, fisikawan yang mufassir, atau ulama’ yang matematikawan. Profil ideal ini ada dalam sosok Fakhruddin al-Razi, generasi ulama’ yang cendekiawan pasca Imam al-Ghazali. Di tangan al-Razi, ilmu pengetahuan dalam dunia Islam menemukan fase gemilangnya -- setelah sekian lama membeku. Fase itu tidak mustahil terwujud di era modern, itu jika seluruh insan pendidikan Islam menyadari pentingnya dinamisasi epistemologi Islam ini.*

Friday, May 25, 2012

Tujuh Cara Cemerlangkan Otak

 Tujuh Cara Cemerlangkan Otak


  1. Mempunyai daya kekuatan mental dan fizikal yang bertindak aktif dan positif. Sikap dan tahap pemikiran kamu mestilah seimbang.
  2. Mempunyai pemikiran yang sentiasa bersih. Jangan sesekali memikirkan perkara yang tidak baik atau bercadang untuk bermalas-malas.
  3. Sentiasa berdaya saing dan kekuatan mental terhadap cabaran. Kamu juga perlu bersikap ingin mendahului rakan di dalam pelajaran.
  4. Mengambil makanan yang sihat untuk kecerdasan otak. Jangan amalkan makanan ringan kerana ia boleh merosakkan minda.
  5. Sentiasa melakukan senaman atau gerakan yang boleh merangsang otak. Malas dan kurang aktif akan membuatkan kamu seorang yang berat tubuh dan kurang daya fikir.
  6. Sentiasa mengatur waktu tidur yang mencukupi untuk merehatkan otak. Jangan berjaga hanya kerana ingin menonton siri kesukaan tetapi menjaga disiplin tidur untuk kesegaran esok hari.
  7. Bertafakur, berdoa dan membersihkan pemikiran. Setelah berusaha, jangan lupa untuk mendoakan kejayaan dan sentiasa berfikiran positif dan berkeyakinan tinggi.


  1. Amalan meningkatkan daya ingatan dan kefahaman terhadap mata pelajaran.
  2. Jarakkan dan bahagikan pecahan masa belajar dengan menggunakan jadual.
  3. Lafazkan isi-isi penting dan data daripada nota ringkas dengan cara yang kuat.
  4. Apapun teknik dan sistem yang dilakukan, lakukan secara berulang-ulang.
  5. Akhirnya, percayalah kepada diri sendiri, tanamkan keyakinan dan berserah kepada takdir yang menentukan

Petua Pelajar Cemerlang

35 Petua Pelajar Cemerlang

Berikut merupakan petua-petua dan ciri-ciri yang ada pada pelajar cemerlang, dari Dr Fadzilah Kamsah. Pelajar cemerlang akan:
  1. Menggunakan kedua-dua belah otak kanan & kiri. Ini dapat dilakukan dengan membuat aktiviti merangsang kedua-dua belah otak tersebut.
  2. Merangsang kesemua deria dalam pembelajaran. Kajian menunjukkan bahawa:
    • kita ingat 10% apa yang dibaca
    • kita ingat 20% apa yang didengar
    • kita ingat 50% apa yang didengar & dilihat
    • kita ingat 70% apa yang dicakapkan
    • kita ingat 90% setelah dipraktikkan
  3. Belajar secara aktif dengan pen/pensil ditangan.
  4. Belajar 3 jam sehari atau 20 jam seminggu (tidak termasuk kerja rumah).
...Tahu memberi ganjaran kepada diri sendiri selepas belajar seperti membaca surat khabar, melawat rakan dan sebagainya....
  1. Belajar dalam persekitaran kondusif.
    • pastikan cahaya adalah terang
    • kurangkan gangguan bunyi
    • tampal poster yang mengandungi slogan yang menaikkan semangat belajar
    • tampal gambar-gambar yang menenangkan fikiran
    • kerusi dan meja menghadap kiblat
    • jangan lupa untuk senyum
  2. Tidak ponteng kelas. Kalau tertinggal kelas, salin nota dari rakan.
  3. Mengulang kaji menggunakan kaedah 'output learning' iaitu belajar untuk melatih otak menggunakan maklumat yang terkumpul. Ini dapat dilakukan dengan membaca buku/nota, ingat kembali, lakar/tulis, sebut apa yang difahami, dan jawab soalan.
  4. Tahu teknik merangsang memori:
    • memasukkan maklumat dalam memori (registration)
    • menyimpan maklumat dalam sel memori (retention)
    • mengingat kembali (recall)
    • menggunakan maklumat untuk menjawab soalan atau kegunaan lain (application)
  5. Sentiasa awal dan mendahului:
    • persediaan awal akan memberikan permulaan yang baik dan memberi tanggapan yang positif pada guru.
    • pelajar yang mendapat A pada ujian lazimnya akan dapat mengekalkan kejayaannya.
    • belajar awal ketika tiada tekanan adalah tidak membosankan.
    • untuk sentiasa awal dan mendahului, bacalah dahulu sekali atau 2 kali sebelum guru mengajar.
  6. Berbuat baik dengan guru. Setiasa hormati dan sayangi guru.
  7. Mempunyai teknik membaca yang betul:
    • duduk dengan tegak & bernafas dengan betul
    • memberikan tumpuan sepanuhnya
    • menggunakan jari telunjuk untuk membaca
    • menyesuaikan kelajuan membaca dengan kesukaran bahan bacaan
  8. Sentiasa mengawasi pencuri waktu belajar iaitu angan-angan kosong, bertangguh & malas.
  9. Membaca doa penerang hati setiap kali selepas sembahyang, sebelum mengulangkaji, dan sebelum menghadapi peperiksaan.
  10. Tidak membuang masa dengan belajar ketika letih.
  11. Mengadakan rehat sebentar setiap 20 minit mengulangkaji.
  12. Belajar mengikut waktu yang sesuai dengan diri (study according to your biological clock). Bagaimanapun, perlu tahu waktu-waktu yang sesuai untuk belajar iaitu sebelum tidur, selepas bangun tidur, selepas mandi air panas, selepas baca al-quran/zikir selepas riadah dan selepas berdoa.
  13. Mengulang kaji secepat mungkin. Ulang kaji ringkas selepas belajar (kita akan lupa 80% selepas belajar).
  14. Mengulang kaji secara bersendirian atau berkumpulan.
  15. Tahu mengulang kaji adalah aktiviti pembelajaran terpenting sebelum peperiksaan.
  16. Mengulang kaji pelajaran berulang-ulang kali.
  17. Mengulang kaji apabila mulai terlupa.
  18. Tahu petua mengulang kaji:
    • cari tempat yang tenang dan serasi dengan jiwa kita
    • siapkan semua 'bekalan' dengan sempurna
    • duduk tegak dikerusi yang selesa
    • baca doa penerang hati
    • baca buku atau nota mengikut teknik membaca yang betul
    • fikir dan ingat kembali isi utama
    • catat/lakar
    • semak semula ketepatan maklumat
    • ulang sebut atau ceritakan pada orang lain
    • buat rumusan
    • jawab soalan
    • tampal maklumat yang rumit di dinding
    • baca doa tanda kesyukuran selepas belajar
  19. Tahu memberi ganjaran kepada diri sendiri selepas beajar seperti membaca surat khabar, melawat rakan dan sebagainya.
  20. Tahu petua-petua agar tidak lupa:
    • jangan makan kepala ikan
    • jangan makan organ dalaman
    • jangan minum semasa makan
    • jangan minum atau makan makanan yang tercemar oleh semut
    • jangan melihat kemaluan
    • banyakkan makan makanan yang mengandungi soya seperti tempe, tauhu dan lain-lain
    • banyakkan makan kismis, kurma dan madu
    • banyakkan makan kekacang
    • pakai minyak wangi ketika belajar atau menghadapi peperiksaan
    • jangan makan sehingga terlalu kenyang
    • jangan kencing berdiri
  21. Tahu kemahiran mengingat:
    • tampal nota-nota penting di dinding
    • tukar perkataan, ayat atau definisi dalam bentuk gambar atau rajah
    • gunakan kaedah akronim
    • reka cerita atau ayat mengenai konsep yang perlu diingat
    • pecahkan maklumat kepada kumpulan kecil
  22. Cekap mengatur jadual belajar:
    • mempunyai jadual belajar
    • patuh kepada jadual
    • buat jadual yang boleh diikuti
  23. Tidak menangguh belajar pada saat akhir dan tidak menumpukan peperiksaan sebagai dorongan untuk belajar.
  24. Cari maklumat mengenai subjek yang tidak diketahui. Sediakan perkara-perkara yang tidak diketahui dan dapatkan penyelesaian dari orang yang lebih arif.
  25. Membina kepelbagaian dalam pembelajaran. Sebagai contoh, satu hari dipelbagaikan cara dan topik untuk belajar.
  26. Menggunakan masa terluang untuk mengulang kaji atau mencuri masa.
  27. Membawa nota ke mana-mana sahaja (kecuali ke tandas).
  28. Pelbagaikan tempat belajar.
  29. Menyedari guru-guru adalah sumber ilmu yang baik. Tanya guru apabila tidak faham
  30. Menjadikan nota-nota menarik seperti membuat corak, menggariskan isi penting dan sebagainya.
  31. Ciri-ciri pelajar cemerlang:
    • taat kepada Allah
    • mendirikan sembahyang
    • menghormati kedua ibu bapa dan sentiasa mendoakan mereka
    • hormati & sayangi guru
    • bersungguh-sungguh dalam melakukan kerja untuk mencapai kecemerlangan.
    • suka pada setiap mata pelajaran yang dipelajari
    • membantu rakan yang memerlukan
    • berdoa dan bersyukur kepada Allah
    • sentiasa bertawakal
    • mahir dalam setiap mata pelajaran
Kita juga perlu ingat pelajar yang cemerlang, adalah juga cemerlang pada akhlak dan tingkah lakunya dan seimbang dalam kehidupannya. Kecemerlangan pelajar bukan semata-mata dilihat pada nilai akademiknya sahaja. Semoga bermanfaat. :)

Lagi tip-tip berguna untuk pelajar:
Study Preparation & How to Revise Effectively

Monday, May 21, 2012

BENCILAH KERANA ALLAH DAN CINTIALAH JUGA KERANA ALLAH


Ketika Cinta Perlu Bukti Nyata

 

Islam mengajarkan kepada kita bagaimana semestinya sebuah hubungan dibangun. Salah satu prinsip yang paling penting, dalam membangun hubungan antar sesama adalah cinta dan benci karena Allah. Berkaitan dengan ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan melarang karena Allah, maka telah sempurna imannya.” Inilah prinsip paling penting yang harus kita kedepankan manakala hendak membangun hubungan dengan yang lain.
Prinsip ini juga akan memastikan hubungan kita dengan yang lain, tidak berdasarkan atas kepentingan pribadi atau karena adanya motif-motif tersembunyi. Sebagai seorang muslim, tidak boleh sekali-kali berpikir: Apa yang bisa saya dapatkan dari hubungan ini? Karena, hubungan yang dibangun di atas kepentingan sesaat seperti ini, hanya akan bertahan sepanjang ada keuntungan pribadi yang bisa diraih, dan akan berakhir ketika kebutuhannya telah terpenuhi. Hal ini tentu berbeda dengan hubungan yang didasari cinta karena Allah, yang akan bertahan sepanjang masa, hingga kematian menjemput.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ada tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah, pada saat tidak ada naungan selain naungan Allah…” dan beliau menyebut salah satunya adalah: “…dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka bertemu dan berpisah hanya karena Allah.” (HR. Al Bukhari dan Muslim). Imam Ibnu Hajar, dalam penjelasannya atas hadits ini menjelaskan, bahwa meskipun redaksi yang digunakan dalam hadits menyebut kata laki-laki, namun wanita juga termasuk dalam pengertian hadits ini.
Sesungguhnya terdapat banyak hak yang dimiliki seorang muslim atas muslim lainya. Hak-hak tersebut, mengarahkan bagaimana suatu hubungan harus dibangun. Berikut ini beberapa penjelasan singkat mengenai hak dan kewajiban , yang harus menjadi perhatian bagi kita sebagai seorang muslim, dalam membangun hubungan dengan yang lain.
1. Memperhatikan dan membantu kebutuhan finansial.
Setiap muslim memiliki kewajiban dalam men-support kebutuhan finansial saudaranya yang membutuhkan. Akan tetapi, jangan sampai hal ini justru menyebabkan hak pribadi menjadi terabaikan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kita, bahwa Allah berfirman: “Kecintaanku adalah suatu kewajiban bagi mereka yang saling memberi karena Aku.”
Yazid bin Abdul Malik, pernah berkata: “Saya merasa malu kepada Allah, memohon kepada-Nya untuk membukakan pintu surga untuk salah seorang saudaraku, lalu merasa kikir memberinya sebuah koin emas atau perak.”
2. Menyediakan kebutuhan pangan dan sandang.
Perkataan Abu Sulaiman ad Darani rahimahullah patut menjadi renungan bagi kita. Ia mengatakan: “Jika seluruh kehidupan di dunia ini berisi segenggam makanan yang ada dalam tanganku, lalu seseorang mendatangiku untuk itu, saya bersedia memberikan segenggam makanan itu kepadanya.” Ia juga pernah mengatakan: “Saya akan memasukkan segenggam makanan kepada mulut saudaraku, lalu kemudian merasakannya dalam mulutku.”
3. Menolong dengan bantuan fisik.
Sudah seharusnya kita senantiasa bersedia mengulurkan tangan kita dan melakukan sesuatu bagi saudara kita. Perkataan menarik diucapkan oleh Muhammad bin Ja’far rahimahullah. Beliau mengatakan: “Aku akan segera melakukan apa yang  diinginkan oleh musuh-musuhku, karena aku benci mereka kecewa kepadaku.” Subhanallahu. Jika kepada musuh saja seperti ini, lalu bagaimana seharusnya sikap kita kepada teman kita?
4. Menunjukkan itikad baik kepada saudara kita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika salah seorang di antara kamu mencintai seseorang, biarkanlah ia mengatakannya.” Menjadi kewajiban kita pula untuk mempertahankan kehormatan saudara kita, ketika ada seseorang yang berbicara buruk tentangnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang membela kehormatan saudaranya, maka Allah akan membelanya agar terhindar dari siksa neraka pada hari kiamat.”
5. Memberikan maaf dan pemakluman atas kesalahan dan kekurangan.
Kesalahan-kesalahan yang ada mungkin karena kekurangannya akan pemahaman agama –misal dengan melakukan kemaksiatan- atau bisa jadi itu memang merupakan cara mereka memperlakukan kita. Maka, ketika kesalahan itu karena kurangnya pemahaman agama saudara kita, yang dibutuhkan adalah saran atau nasehat dari kita. Dan hal ini justru harusnya mendorong kita untuk lebih bersemangat mengarahkan saudara kita kembali ke jalan yang benar.
Sebuah pelajaran berharga dari kehidupan para salafushshalih, dikisahkan bahwa ada dua orang yang sangat dekat. Satu waktu, seorang di antara mereka melakukan kemaksiatan. Kemudian orang-orang mendesak agar seorang yang shalih dari dua orang tadi, meninggalkan temannya yang telah berbuat dosa. Namun ia menolaknya dan berkata: “Dia membutuhkanku dalam menghadapi cobaan ini, lebih dari sebelumnya. Aku harus menolongnya dan berdoa kepada Allah agar mengembalikan ia ke jalan yang seharusnya.”
Sikap atau perlakuan yang keliru dari saudara kita mungkin pernah kita alami. Tetapi, kita tidak boleh membalasnya dengan sikap yang sama. Sebaliknya, kita harus memaafkannya dan mesti selalu ingat bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Kita tidak bisa mengharapkan dari seseorang agar tidak bersikap buruk kepada kita.
6. Mendoakannya baik ketika masih hidup maupun ketika sudah meninggal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Doa seorang muslim untuk saudaranya (yang dilakukan) tidak di hadapannya, akan dikabulkan. Di atas kepalanya ada Malaikat yang ditugaskan (menjaganya), setiap kali dia berdoa memohonkan kebaikan untuk saudaranya, maka Malaikat yang bertugas menjaga tersebut berkata, “Amin, serta (semoga) bagimu juga mendapatkan demikian.”” (HR. Muslim).Contoh mulia diperlihatkan shahabat Abu Darda radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Aku berdoa untuk tujuh puluh saudaraku ketika dalam shalat.”
7. Setia menjalani hubungan.
Kesetiaan kepada saudara kita harus senantiasa berlanjut, meskipun ketika saudara kita telah dijemput malaikat Maut. Kesetiaan dan rasa cinta yang kita miliki, kita buktikan dengan memperhatikan keadaan keluarga yang ditinggalkan. Dan yang lebih penting lagi, kecintaan kita kepada seseorang harus diniatkan pula untuk kepentingan ukhrawi. Karena, kalau cinta tersebut berhenti saat dia meninggal, maka itu hanyalah cinta sesaat. Kesetiaan setelah kematian meski itu kecil, lebih berharga dibanding kesetiaan yang besar selama hidup.
8. Bersikap tidak berlebihan ketika menjalin hubungan dan tidak berharap terlalu banyak.
Sebenarnya tidak baik ketika kita berharap atau memberikan beban yang berlebihan, yang justru akan menyusahkan saudara kita. Imam al Fudhail rahimahullahu pernah berkata: “Seringkali, seseorang meninggalkan saudaranya, dikarenakan beban besar yang diletakkan di pundak saudaranya tersebut.” Ketika hubungan yang ada dibangun tidak berlebihan, dijalani secara mudah dan tidak ada sikap memaksa satu sama lain, maka hal ini akan menyuburkan rasa cinta yang telah bersemayam di hati.
Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan untuk bisa mengamalkan prinsip-prinsip mulia nan agung ini dalam kehidupan kita. Semoga Allah menambah kecintaan kepada saudara kita, demi meraih ridha-Nya.
Wallahu a’lam.