Jauhi Azab dengan Cara Menolak Maksiat
SEORANG aktivis Islam Liberal (JIL), menulis di sebuah akun Twitter mempertanyakan
azab Allah Subhanahu Wata’ala kepada kaum Luth. "Kalau memang benar
Kaum Luth diazab, kenapa Allah tidak menurunkan azab yang sama di zaman
ini?”
Dengan kata lain, ia secara ragu mempertanyakan janji Allah Subhanahu
Wata’ala yang tertulis dalam al-Quran Surat Huud tersebut.
Sesungguhnya, jika dia memang benar-benar telah bersaksi sebagai
seorang, Muslim tentu ia wajib mengimani dan meyakini kebenaran
al-Qur’an. Sebab di antara Rukun Islam yang lima, nomor
satu adalah; mengucap dua kalimat syahadat yang inti nya menerima bahwa
Allah itu tunggal dan Nabi Muhammad itu rasul Allah. Menerima Allah
berarti menerima sebua janji Allah yang telah disampaikan melalui
al-Quran, di mana yang jelas-jelas menyatakan kaum Luth benar-benar
diazab.
فَلَمَّا جَاء أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِّن سِجِّيلٍ مَّنضُودٍ
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu
yang di atas ke bawah, dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah
yang terbakar dengan bertubi-tubi,” (QS. Huud [11]:82)
وَقَوْمَ نُوحٍ مِّن قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا هُمْ أَظْلَمَ وَأَطْغَى
وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَى
“Dan kaum Nuh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang
yang paling zalim dan paling durhaka. Dan negeri-negeri kaum Luth yang
telah dihancurkan Allah.” (QS. an-Najm [53]:52-53)
إِنَّا أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ حَاصِباً إِلَّا آلَ لُوطٍ نَّجَّيْنَاهُم بِسَحَرٍ
“Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang
membawa batu-batu, kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum
fajar menyingsing,” (QS. al-Qomar [54]:34).
Pertanyaan tokoh JIL di atas paling tidak mengindikasikan dua hal, pertama dia tidak yakin kaum Luth diazab Allah, dan yang kedua —ini
adalah tujuan dari pertanyaan tersebut— dia menjustifikasi dan
mempromosikan perbuatan menyimpang homoseksual. Sekali lagi jika dia
memang benar-benar Muslim tentu selain meyakini adanya azab terhadap
kaum Luth juga berusaha mencegah azab Allah tidak turun bagi dirinya
sendiri dan orang lain/orang banyak baik di dunia maupun di akhirat
dengan cara tidak menjustifikasi dan mempromosikan perbuatan-perbuatan
maksiat.
Memelihara Keluarga
Tak seorangpun mengharapkan azab menimpa diri, keluarga, masyarakat
dan bangsanya, untuk itu logis jika menjadi kewajiban setiap diri
berusaha menolak dan tidak mendukung dan mempromosikan maksiat agar jauh
dari azab karena siksaan Allah tidak hanya menimpa orang-orang yang
berbuat maksiat tapi juga orang-orang lain yang baik-baik yang tidak
berbuat maksiat.
Karena itulah Allah memerintahkan pada kita menjaga diri agar tidak
tergelincir. Perintah ini disampaikan kepada semua pihak, baik yang
imannya lemah atau yang mengaku imannya kuat sekalipun.
وَاتَّقُواْ فِتْنَةً لاَّ تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus
menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa
Allah amat keras siksaan-Nya.” (QS. al-Anfaal [8]:25)
Bukannya justru mendukung maksiat seperti memperkuat statement bahkan
mendukung kemaksiatan dengan cara menjaga keamanan dalam acara-acara
maksiat yang sedang berlangsung.
Sebagai seorang Mukmin, kita harus punya keyakinan, bahwa azab yang
ditimpakan Allah kepada manusia tidaklah terbatas berupa bencana-bencana
alam seperti banjir, gempa dan angin kencang, tapi azab Allah juga
berupa penghidupan sempit berupa bencana-bencana dalam bidang ekonomi,
sosial dan politik seperti yang hingga kini masih melilit diri kita
bangsa Indonesia.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya
baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada
hari kiamat dalam keadaan buta".” (QS. Thaahaa [20]:124)
Azab Allah juga berupa musibah-musibah dalam bentuk lain seperti kecelakaan kereta api, jatuhnya pesawat, banjir, gempa dll.
Sepatutnya kepedulian untuk menolak maksiat dan kemunkaran guna
menjauhi azab kita jadikan kebiasaan hidup dan menjadi bagian dari gaya
hidup kita. Usaha-usaha kita dalam menolak maksiat dan kemungkaran
dengan segala cara dan media menunjukan kualitas keimanan kita. Tidak
peduli dan mendiamkannya dengan diiringi perasaan benci saja berarti
iman yang kita miliki adalah selemah-lemahnya iman, apatah lagi tidak
peduli dan mendiamkannya tanpa diiringi perasaan benci (biasa-biasa
saja) atau malah menyukainya, bisa-bisa di dalam hati kita sama sekali
tidak ada iman sama sekali. Na’udzubillah min dzalik.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu dia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang
siapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, hendaklah dia
merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu maka hendaknya dengan
lisannya. Dan apabila tidak mampu lagi maka dengan hatinya, sesungguhnya
itulah selemah-lemah iman.’.” (HR. Muslim)
Allah menginformasikan mereka yang memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran adalah orang-orang yang beruntung. Sebaliknya
mereka yang tidak peduli dan tidak melakukan apa-apa adalah orang-orang
yang tidak beruntung.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلَـئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُونَ
“Hendaklah di antara kalian ada segolongan umat yang
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Dan merekalah termasuk
orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran [3]:104)
Semoga diri dan keluarga kita terhindar dari kemaksiatan dan fitnah zaman ini. Serta dijauhkan dari siksa dan azab Allah.*
No comments:
Post a Comment