SEKOLAH RENDAH ISLAM DARUL THULAB (PENDIDIKAN AGAMA DAN TAHFIZ AL QURAN)

SEKOLAH RENDAH ISLAM DARUL THULAB (PENDIDIKAN AGAMA DAN TAHFIZ AL QURAN)
SEKOLAH RENDAH ISLAM DARUL THULAB (PENDIDIKAN AGAMA DAN TAHFIZ AL QURAN)

BERSAMA KITA MELAHIRKAN GENERASI BERILMU DAN BERAMAL DAN BERAKHLAK

خيركم من تعلم القران وعلمه

SEBAIK-BAIK KAMU IALAH ORANG YANG BELAJAR AL-QURAN DAN MENGAJARKANNYA



Friday, May 18, 2012

IMAM AL – GHAZALI DAN FILSAFAT PENGETAHUAN Islam, kekuasaan, Negara, Politik


IMAM AL – GHAZALI DAN FILSAFAT PENGETAHUAN

Islam, kekuasaan, Negara, Politik

Imam Al-Ghazali lebih dikenal sebagai ulama tasawuf dan akidah. Oleh sebab itu sumbangannya terhadap bidang filsafat dan ilmu pengetahuan lain tidak boleh dinafikan begitu saja dalam lembar sejarah pemikiran politik Islam. Al-Ghazali merupakan seorang ahli sufi yang bergelar “hujjatul Islam” karena intelektualitas yang dia miliki dan sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan di dunia Islam saat itu.

Abu Hamid Ibnu Muhammad al-Tusi al-Ghazali adalah tokoh yang dilahirkan di Tusi, Parsi pada tahun 450 Hijrah. Sejak kecil, dia telah menunjukkan kemampuan luar biasa dengan menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan. Imam Al – Ghazali bukan saja produktif dari segi menghasilkan buku dan karya tetapi merupakan seorang ahli fikir Islam yang terbaik dengan karya-karya monumentalnya. Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan begitu mendalam sehingga mendorongnya mengembara dan merantau dari satu tempat ke tempat yang lain untuk berguru dengan ulama-ulama yang hidup pada zamannya. Hasil kerja kerasnya dapat dinikmatinya sewaktu berada di Baghdad, Al-Ghazali dilantik sebagai Mahaguru Universitas Baghdad.

Walaupun telah bergelar mahaguru, Imam Al – Ghazali masih merasakan kekurangan pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Karena itu, Al – Ghazali meninggalkan jabatannya untuk mendalami tasawuf dengan pindah ke Makkah sambil berguru dengan ahli-ahli sufi yang terkenal. Tindakan ini dia ambil sebagai wujud ketertarikannya mendalami kajian tasawuf yang dirasa menantang. Selain belajar dan mengkaji, Al-Ghazali juga banyak menulis. Al – Ghazali telah menulis 300 buah buku mencakup pelbagai bidang ilmu pengetahuan seperti mantik, akhlak, tafsir, ulumul Quran, filsafat, dan sebagainya yang disimpan di Baghdad. Namun sebagian besar hasil tulisannya telah hangus dibakar oleh tentara Moghul yang menyerang kota Baghdad. Kitab-kitab yang musnah antara lain: 40 Jilid Tafsir, Sirrul Alamain (Rahasia Dua Dunia), dan al Madhnuuna bihi ala Qhairiha (Ilmu Yang Harus Disembunyikan Dari Orang’orang Yang Bukan Ahlinya,). Cuma 84 buah buku tulisan yang terbaik yang bisa diselamatkan seperti Al Munqiz Mm al Dhalal (Penyelamat Kesesatan), Tahafut al Falsafah (Penghancuran Falsafah), Mizanul Amal (Timbangan Amal), Ihya Ulumuddin (Penghidupan Pengetahuan), Mahkun Nazar (Mengenai Ilmu Logik), Miyarul Ilmu, dan Maqsadil Falsafah (Tujuan Falsafah).

Meskipun Al-Ghazali banyak menulis mengenai filsafat tetapi dia tidak dianggap sebagai seorang ahli filsafat. Malah kebanyakan beberapa kalangan menggolongkan Al-Ghazali sebagai seorang yang memerangi dan bersikap anti filsafat. Pandangan ini berdasarkan tulisan Al-Ghazali dalam buku Tahafut Falsafah yang banyak mengkritik dan mengecam filsafat. Bahkan dalam buku tersebut, Al-Ghazali menyatakan tujuan menyusun buku itu adalah untuk menghancurkan filsafat dan menggugat keyakinan orang terhadap filsafat. Namun, pandangan bahwa Al-Ghazali seorang yang anti filsafat tidak disetujui oleh beberapa kalangan sarjana karena dianggap membelenggu kebebasan berpikir.

Tidak satu orang pun yang menafikan kecaman Al-Ghazali terhadap filsafat seperti yang ditulis dalam buku Tahafut Falsafah itu, perlu diingat, sikap skeptis (ragu) dan kritikannya terhadap filsafat merupakan sebagian proses ilmu filsafat itu sendiri. Hal ini dilakukan atas asumsi tugas ahli filsafat bukan semata-mata untuk mencari kebenaran dan penyelesaian terhadap sesuatu masalah tetapi juga menjabarkan serta membantah penyelesaian yang dikemukakan terhadap permasalahan tersebut. Menurut Al-Ghazali, filsafat dapat di substrukturkan terhadap enam ilmu pengetahuan yaitu matematika, logika, fisika, metafisik, politik, dan etika. Bidang-bidang ini kadangkala selaras dengan agama dan kadangkala pula sangat berlawanan dengan agama. Tetapi, agama Islam tidak menghalang umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan tersebut sekiranya mendatangkan kebaikan serta tidak menimbulkan kemudaratannya. Semisal agama tidak melarang ilmu matematika karena ilmu itu merupakan hasil pembuktian pikiran yang tidak boleh dinafikan setelah dipahami.

Bagi Al-Ghazali, ilmu tersebut boleh menimbulkan beberapa persoalan yang berat. Antaranya ialah ilmu matematika terlalu mementingkan logika sehingga boleh menyebabkan timbul persoalan yang berkaitan dengan ketuhanan khususnya mengenai perkara yang tidak dapat ditelususri oleh akal pikiran. Menurut Al-Ghazali tidak ada salahnya berpegangan pada logika tetapi yang menjadi masalahnya ialah golongan filsafat yang terlalu berpegang kepada logika, hendaklah membuktikan fakta termasuk perkara yang berhubung dengan ketuhanan atau metafisika. Oleh karena itu, dalam buku Hujjatul Islam, dia menentang golongan ahli filsafat Islam yang mencoba mengungkap kejadian alam dan persoalan Ketuhanan dengan menggunakan pemikiran ahli filsafat Yunani. Beberapa orang ahli filsafat Islam seperti Ibnu Sina dan al-Farabi jelas terpengaruh akan ide pemikiran filsafat Aristoteles. Maka tidak mengherankan jika ada diantara pandangan ahli filsafat itu bertentangan dengan ajaran Islam yang dapat menyebabkan kesesatan dan syirik.

Terdapat tiga pemikiran filsafat metafisika yang menurut Al-Ghazali amat bertentangan dengan Islam, yaitu: qadimnya alam ini, tidak mengetahui Tuhan terhadap perkara dan peristiwa yang kecil, dan pengingkaran terhadap kebangkitan jasad atau jasmani. Al-Ghazali tidak menolak penggunaan akal dalam pembicaraan filsafat dan ilmu pengetahuan yang lain. Sebaliknya Imam Al – Ghazali berpendapat bahwa ilmu kalam dan penyelidikan menggunakan fikiran dapat menambah keyakinan serta menyalakan api keimanan pada hati orang yang bukan Islam terhadap kebenaran ajaran Islam. Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan bukan saja berdasarkan kepuasan akal fikiran tetapi juga perlu memperhatikan aspek perasaan dan hati nurani sebagai penyeimbang.

Al-Ghazali menganjurkan supaya umat Islam mencari kebenaran dengan menjadikan al-Quran sebagai sumber utama bukannya melalui proses pemikiran dan akal an sich. Jadi, apa yang coba dilakukan oleh Al-Ghazali ialah memaparkan kesalahan dan kepalsuan bidang pengetahuan yang bertolak belakang dengan agama serta bertentangan dengan pendirian umat Islam. Sekaligus menunjukkan bahwa Al-Ghazali sebenarnya merupakan seorang ahli filsafat Islam yang mencari kebenaran dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan hadits, tidak seperti pemikiran serta permainan logika yang lazim digunakan ahli filsafat Yunani. Persoalan yang ditentang oleh Al-Ghazali bukan ahli filsafat dan pemikiran yang dibawakan oleh mereka tetapi kesalahan, keteledoran, dan kesesatan yang dilakukan oleh golongan tersebut yang menganggap rasio sebagai satu-satunya jalan kebenaran. Menurut Al-Ghazali, secara sederhana, mengacu pada pemikiran filsafat Al – Qur’an itu sendiri sebagai sumber ilmu pengetahuan yang menyediakan berjuta-juta kekayaan ilmu itu sendiri.

Beberapa Pemikiran Al Ghazali

Asal mula negara

Ghazali berpendapat bahwa manusia tidak dapat hidup sendiri karena dia makhluk sosial yang mempunyai kebutuhan akan keturunan demi kelangsungan hidup umat manusia dan saling membantu dalam penyediaan bahan makanan, pakaian, dan pendidikan anak. Dalam konsepsi ini, sangatlah jelas jika Al Ghazali mengadopsi konsep Aristoteles mengenai Negara secara genesis terutama pada konsepsi manusia sebagai mahkluk social yang dikejawantahkan dalam bentuk Negara sebagai unit pemersatu atau sarana pemenuhan kebutuhan social,

Kebutuhan akan sejumlah industri atau profesi

Dalam masyarakat yang terdiri dari beragam karakter dan keahlian, pembagian tugas ( division of labour ) antar anggota masyarakat dan sejumlah industri atau profesi merupakan langkah yang harus ditempuh agar masing-masing permasalahan dipecahkan oleh ahlinya. Menurut Al Ghazali, ada empat jenis industri atau profesi yang merupakan inti bagi tegaknya suatu negara:
1. pertanian, untuk pengadaan makanan
2. pemintalan, untuk pengadaan pakaian
3. pembangunan, untuk pengadaan tempat tinggal
4. politik, untuk penyusunan dan pengelolaan negara dan pengaturan kerjasama antar warga negara bagi pengamanan terhadap ancaman yang datang dari luar.

Dari keempat profesi tersebut politiklah yang paling penting dan mulia. Oleh karena itu, bidang politik menghendaki tingkat kesempurnaan yang paling tinggi daripada ketiga profesi lainnya. Karena politik dianggap satu tingkat di bawah Kenabian karena bersangkutpaut dengan kbutuhan bersama, maka mereka yang terlibat dalam profesi ini harus betul-betul memiliki keahlian, pengetahuan, dan kearifan yang memadai dan harus dibebaskan dari tugas dan tanggung jawab yang lain mengingat beban tanggung jawab yang harus mereka pikul.

Pemimpin Negara

Bagi Ghazali, dunia hanyalah ladang untuk mencari perbekalan bagi kehidupan nanti. Dan itu hanya mungkin tercapai bila ada ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan yang merata di dunia. Bertolak dari itu, pemilihan tidak hanya berdasar rasio tetapi berdasar agama karena kesejahteraan ukhrawi harus dilakukan melalui pengamalan dan penghayatan ajaran agama secara sempurna. Dan hal itu baru tercapai dalam dunia yang tertib, aman, dan tentram. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan kepala negara yang ditaati, Ghozali meminjam suatu ungkapan, agama dan pemimpin ibarat dua anak kembar, agama adalah pondasi sedang Sultan adalah penjaga. Suatu yang tanpa pondasi akan runtuh dan suatu yang tanpa penjaga akan hilang. Konklusi yang dapat diambil dari pemikiran ini adalah pentingnya keberadaan agama dan sultan sebagai pilar untuk mewujudkan keamanan, ketertiban, dan kesejahteraan yang merata. Keduanya memiliki fungsi dan peran masing-masing yang saling terkait satu sama lain sebagai suatu system dengan tidak menitikberatkan pada satu elemen belaka, melainkan keduanya dalam kerangka memilih pemimpin Negara.

Kekuasaan dan kewenangan kepala negara

Kekuasaan raja tidak datang dari rakyat tetapi dari Allah yang diberikan kepada sejumlah kecil hamba pilihan dan oleh karenanya kekuasaan raja adalah Muqaddar atau suci. (dalam term lain, model ini sama dengan konsepsi St. Agustinus pada abad pertengahan di Eropa yang berlandaskan kedaulatan Tuhan). Maka seluruh rakyat secara mutlak harus taat dan melaksanakan semua perintahnya. Dengan kata lain, sistem pemerintahan Ghazali adalah Teokrasi dengan Islam sebagai pedoman dasar di setiap beragam aktivitas politik yang nantinya dipercaya akan membawa kemaslahatan.

Dengan konsepsi kekuasaan dan kewenangan Negara seperti itu, maka ada sepuluh syarat untuk menjadi seorang kepala negara:
1. dewasa atau aqil baligh
2. otak yang sehat
3. merdeka atau bukan budak
4. laki-laki
5. keturunan Quraisy
6. pendengaran dan pengelihatan yangn sehat
7. kekuasaan yang nyata ; tersedianya bagi raja perangkat yang memadai termasuk angkatan bersenjata dan kepolisian yang tangguh untuk memaksakan keputusan-keputusannya
8. hidayah ; mempunyai daya pikir dan daya rancang yang kuat yang ditunjang oleh kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat dan nasehat orang lain
9. ilmu pengetahuan
10. Wara’, yaitu yang bersih dengan kemampan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang tercela dan terlarang.

No comments:

Post a Comment