Pengertian konsep dakwah sufi.
Konsep adalah rancangan atau
idea atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkret. Kata ini
berasal dari bahasa Inggris yaitu concept yang bila di”bahasa arabkan”
menjadi “mafhum”atau “nazhariyah”.
Adapun Dakwah :
1. Secara Etimologi
Kata
dakwah (الدعوة ) artinya: "do’a", "seruan ", “panggilan”, "ajakan",
"undangan", "dorongan" dan "permintaan", berakar dari kata kerja. "دعا“
yang berarti "berdo'a", "memanggil, "'menyeru","mengundang","mendorong",
dan "mengadu".
Dakwah secara
etimologis bebas nilai, artinya bisa mengajak kepada kebaikan atau ke
jalan Allah bisa juga mengajak kepada kemungkaran, jalan setan atau
berbuat maksiat seperti apa yang telah didramatisir oleh Zulaiha dengan
mengajak Yusuf berbuat maksiat sebagaimana Firman Allah SWT:
Artinya:“Yusuf
berkata: “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu
daya mereka, tentu aku akan cendrung untuk [memenuhi keinginan mereka],
dan tentulah aku masuk orang-orang yang bodoh “.[Q.S.Yusuf/12.33].
2. Secara Terminologi
Dakwah
adalah menyeru dan mengajak manusia untuk memahami dan mengamalkan
ajaran islam sesuai dengan Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad SAW
Sebagaimana
Firman Allah Swt yang Artinya : "dan hendaklah ada diantara kamu
segolongan ummat yang rnenyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang
beruntung." (QS Ali- Imran : 104).
Artinya:“Serulah [manusia] kepada jalan Tuhanmu.......[Q.S.An-Nahl/16.125].
Istilah
"tasawuf" (sufiisme), berasal dari tiga huruf Arab, sha, wau dan fa.
Banyak pendapat tentang alasan atas asalnya dari sha wa fa. Ada yang
berpendapat, kata itu berasal dari shafa yang berarti kesucian. Menurut
pendapat lain kata itu berasal dari kata kerja bahasa Arab safw yang
berarti orang-orang yang terpilih. Makna ini sering dikutip dalam
literatur sufi.
Adapun pengertian tasawuf secara termonologi sebagai berikut :
Imam
Junaid dari Baghdad (m.910) mendefinisikan tasawuf sebagai "mengambil
setiap sifat mulia dan meninggalkan setiap sifat rendah".
Syekh
Abul Hasan asy-Syadzili (m.1258), syekh sufi besar dari Arika Utara,
mendefinisikan tasawuf sebagai "praktik dan latihan diri melalui cinta
yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan".
Sedangkan
“sufi” adalah pelaku tasawuf itu sendiri. Kalau kita mengambil definisi
tasawuf imam Junaid “sufi” adalah orang yang mengambil setiap sifat
mulia dan meninggalkan sifat tercela. Tetapi kalau kita mengambil
definisi tasawuf dari imam asy-syadzili maka “sufi” adalah orang yang
melakukan latihan tersebut atau bisa disebut salik.”
Dari
manapun definisi yang kita ambil, istilah para sufi berarti orang-orang
yang tertarik kepada pengetahuan batin, orang-orang yang tertarik untuk
menemukan suatu jalan atau praktik ke arah kesadaran dan pencerahan
batin.
Jadi yang dimaksud dengan “
konsep dakwah sufi “ adalah rancangan atau ide mengajak manusia untuk
memahami dan mengamalkan ajaran islam sesuai dengan Al-Qur'an dan
sunnah Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh salik.
Konsep dakwah sufi
Di
sini kami ambil contoh konsep yang ditawarkan tokoh sufi besar yang
mana menjadi salah satu mazhab tasawufnya NU yaitu Hujjatul Islam Imam
Abu Hamid Al-Ghazali dalam kitab monumentalnya Ihya’ Ulumuddin. Kami
akan banyak mengambil konsep- konsep beliau yang terekam pada bab Amar
Ma’ruf Nahi Munkar, tetapi tidak menutup kemungkinan penulis mengambil
dari referensi lain, terutama pada poin-poin yang mana Imam Al-Ghazali
tidak menyinggung secara lengkap seperti yang akan pembaca dapatkan pada
poin media dakwah sufi.
Dalam konsep dakwahnya Imam
Al-Ghazali melibatkan beberapa unsur-unsur dakwah, meliputi : Da’i yaitu
muhtasib (Komunikator) sebagai penyampai pesan dakwah, materi dakwah
sebagai pesan dakwah yang disampaikan kepada mad’u yaitu muhtasab fih,
mad’u (muhtasab ‘alaih) sebagai pendengar atau yang menerima pesan
dakwah, dan nafsul-ihtisab yaitu media dakwah, dan metode serta saluran
dakwah yang digunakan Imam Al-Ghazali dalam mencapai tujuan dakwah
islamiyah. Berikut pemaparannya:
1. Da’i (Muhtasib)
Sesuai
dengan namanya tugas seorang da’i (muhtasib) adalah seorang komunikator
sebagai penyampai pesan dakwah (ajaran-ajaran Islam) yang disampaikan
kepada mad’u (umat manusia). Menurut Imam Al-Ghazali, memberi petunjuk
kepada orang lain adalah cabang dari memperoleh petunjuk dan demikian
pula meluruskan orang lain adalah cabang dari istiqamah.
Dari
pernyataan Imam Al-Ghazali diatas penulis menyimpulkan bahwa ukuran
atau kadar baik tidaknya seorang da’i dapat dilihat dari perannya dalam
meningkatkan kepekaan spiritualitas kemanusiaan atau sebaliknya. Apabila
seorang da’i tersebut mampu mengajak mad’unya menuju jalan kebaikan
rahmatan lil ‘alamin dengan merasakan keagungan sang khalik, lebih
kreatif dalam menghadapi lingkungannya, lebih jauh melihat masa
depannya, maka da’i tersebut telah berhasil dalam mensyiarkan dakwah
islamiyah.
Namun sebaliknya
apabila da’i tersebut tidak mampu mengajak mad’unya menuju jalan
kebaikan rahmatan lil ‘alamin tetapi berbalik arah menuju jalan
keburukan maka da’i tersebut gagal dalam mensyiarkan dakwah
islamiyahnya.
Dalam kitab Ihya
ulumuddin, Imam Al-Ghazali mengemukakan seorang da’i (secara umum) dalam
melaksanakan tugasnya memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Orang mukallaf muslim dan orang yang sanggup.
b. Islam, karena ia membela Islam.
c. Adil, seorang da’i harus bisa bersikap adil terutama dalam menyelesaikan suatu perselisihan.
d.
Beriman, menurut Imam Al-Ghazali seorang da’i yang tidak beriman bukan
termasuk ahli agama karena ia telah mengingkari pokok agama dan dengan
keimananlah pertolongan bagi agama.
e. Shaleh.
f.
Mengetahui tempat-tempat dakwah, batas-batasnya, jalan-jalannya, dan
penghalang-penghalangnya agar ia dapat membatasi padanya, sesuai dengan
batas agama.
g. Menjauhi diri dari dosa-dosa.
h. Memiliki budi pekerti, lemah lembut dan kasih sayang serta sabar dalam menjalankan dakwahnya.
2. Materi dakwah (Muhtasab fih)
Materi
dakwah sebagai pesan dakwah yang di sampaikan kepada obyek dakwah
mencakup semua aspek dalam agama islam ( islam, iman dan ihsan ). Para
sufi tidak luput dari ketiganya ini, bisa banyak kita jumpai kitab-kitab
tasawuf yang mencakup ketiganya ini. Sebagai contoh dalam bidang aqidah
para sufi membahasnya dalam bab-bab pertama kitab-kitab tasawuf mereka,
contoh kitab Risalah Qusyairiyah karya tokoh sufi agung Imam
Al-Qusyairy dan kitab ihya’ ulumuddin karya Imam Al-Ghazali. Keduanya
membahas aqidah di bab-bab pertama sebagai indikasi pentingnya aqidah
dalam membentuk jati diri seseorang.
Ada
materi dakwah yang sangat penting dalam dunia sufi yaitu pembersihan
jiwa karena tatkala jiwa (hati) sudah bersih maka semua anggota badan
akan bersih, juga sebagimana yang termaktum dalam sebuah hadis yang
sangat populer : “tatkala ia bagus maka seluruh jasad akan menjadi bagus
yaitu hati”.
Dalam rangkaian
metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap :
Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Takhalli, sebagai tahap pertama dalam
mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia.
Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan
terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala
keinginan duniawi.
Tahalli,
sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah
dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah SWT. Pada tahap ini, hati
harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan
mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak
ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya
dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya
sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir. Pada saat tahalli,
lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam
hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut
bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang
tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat.
Setelah
tahap ‘pengosongan’ dan ‘pengisian’, sebagai tahap ketiga adalah
Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap
dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah Subhanahu Wata’ala. Ia lebur bersama
Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam
keridho’an-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah,
orang yang sempurna sebagai manusia luhur.
3. Mad’u (muhtasab ‘alaih)
Mad’u
merupakan objek dakwah, yang bertindak sebagai pendengar atau yang
menerima pesan dakwah yang disampaikan seorang da’i. Syaratnya adalah
bahwa Muhtasab ‘Alaih dengan sifat yang menjadikan perbuatan yang
dilarang daripadanya baginya itu munkar dan sedikit-dikitnya apa yang
mencukupi dalam hal itu adalah bahwa ia adalah manusia dan tidak
disyaratkan bahwa ia seorang mukallaf. Dan tidak disyaratkan bahwa ia
adalah mumayyiz (yang dapat membedakan antara yang bermanfaat dan tidak
manfaat).
4. Media dakwah (nafsul-ihtisab)
Para
sufi terkenal sangat kreatif dalam menggunakan media dakwah karena
kebanyakan para sufi berpahaman bahwasanya tidak semua yang baru itu
merupakan bid’ah atau hal yang dilarang oleh agama, tetapi mereka lebih
membagi bid’ah menjadi dua : bid’ah hasanah atau lebih layak dikatakan
sunah hasah dan bid’ah dhalalah.
Ada beberapa media atau sarana yang digunakan para sufi dalam berdakwah diantaranya adalah :
a. Halaqatul zikir ( majlis zikir )
Sarana
ini adalah sarana terpenting dari kebanyakan tarekat- tarekat sufi,
kebanyakan tarekat sufi sangat menganjurkan para pengikutnya untuk
sering zikir bersama karena dengan zikir bersama akan lebih membawa
dampak yang positih terhadap jiwa para jamaah tarekat tersebut disamping
banyak landasan-landasan dalil dari Al-quran dan sunnah yang
menganjurkan zikir berjamaah.
b. Khalwah- khalwah Al-qur’an
Media
ini sangat banyak kita temukan di Sudan, bisa dikatakan 80% dari tokoh-
tokoh sufi (mursyid) memiliki khalwah Al-quran yaitu semacam pesantren
yang khusus untuk menghafalkan Al-qur’an tanpa pungutan biaya
sedikitpun. Semua kebutuhan ditanggung pemilik khalwah yang biasanya
sering dapat sumbangan dari orang-orang dermawan untuk konsumsi para
santri khalwah. Di khalwah itulah para santri digembleng dengan
menghafal Al-quran sebagai pondasi awal memahami agama islam. Di Sudan
santri-santri khalwah terdiri dari banyak usia dan yang paling banyak
masih usia relatif muda kurang dari 10 tahun.
c. Masjid
Masjid
merupakan media dakwah yang dijadikan Rasulullah SAW sebagai sarana dan
tempat penggemblengan para sahabat RA dan dari masjid muncullah tokoh-
tokoh yang banyak kita jadikan contoh. Karena itulah para sufi tidak
lalai dalam memanfaatkan sarana ini sebagai media dakwah, di negara-
negara muslim banyak kita temukan masjid- masjid tua yang didirikan para
tokoh- tokoh sufi seperti banyak kita temukan juga di indonesia. Ambil
contoh Masjid Agung Demak yang merupakan pusat perkumpulan Wali Songo,
masjid agung menara kudus yang mempunyai ciri khas tertentu dengan
adanya menara mirip dengan tempat ibadah orang hindu dan budha.
d. Zawiyah sufiah
Yaitu
semacam tempat pertapaan (‘uzlah) para sufi yang jauh dari keramaian
kota dan biasanya banyak ditemukan di gurun- gurun negara timur tengah.
Sarana ini mereka gunakan untuk mendidik nafsu dan hati dari segala
penyakitnya serta sarana untuk menggembleng para santri dalam menekuni
dunia kesufian. Sarana ini banyak kita temukan di Libia, Maroko dan
negara- negara lain di zaman penjajahan yang diantara tarekat yang
banyak menggunakan media ini adalah Tarekah Sanusiyah yang terpusat di
Libya.
e. Media tulis
Media
ini merupaka media terpenting dalam setiap gerakan dakwah. Karena
itulah para sufi tak luput memanfaatkan media ini sebagai sarana dakwah.
Kalau kita mau masuk perpustakaan islam maka banyak sekali kita temukan
kitab- kitab karya para tokoh-tokoh sufi. Ambil contoh kitab karya Imam
Al-Ghazali bisa kita temukan begitu banyak, kitab karya Syaikh Abdul
Qadir Al-Jailani dan karya tokoh-tokoh yang lain.
f. Media internet
Media
yang satu ini tidak dapat ditemukan di era- era dulu, tetapi pada era
sekarang media ini sangat dilirik oleh semua kalangan karena
jangkauannya yang luas tanpa batas ruang dan waktu. Begitu juga para
sufi tidak mau ketinggalan dengan pemanfaatan media ini, sekarang banyak
kita temukan situs-situs sufi dari berbagai Negara, contoh kecil di
Indonesia ada situs www.sufinews.com.
5. Metode dakwah
Imam
Al-Ghazali menerangkan metodologi dakwah yang digunakan dalam
menyiarkan dakwah Islam. Terdapat beberapa tingkatan diantaranya adalah
ta’aruf , melarang dengan pengajaran dan cara yang halus dan janganlah
bersikap keras supaya tidak melampaui batas syara’ sehingga lebih banyak
merusak daripada memperbaiki sehingga dalam tegurannya terdapat semacam
pelanggaran. Bahkan, seandainya ada seseorang menolak atau
menghadapinya dengan sikap yang tidak disukainya, maka janganlah ia
melampaui batas syara’ dan melupakan teguran serta melakukan kemungkaran
dalam teguran itu sendiri. Menurut Imam Al-Ghazali dalam teguran itu
ada empat tingkatan yaitu memberitahu, menasehati, bersikap keras dalam
perkataan, kemudian mencegah dengan paksaan. Tidaklah boleh terhadap
raja dan penguasa, kecuali memberitahu dan menasehati. Adapun bersikap
keras dan mencegah dengan paksa, maka sikap itu menggerakkan fitnah dan
menimbulkan hal-hal yang lebih keji daripada yang mereka alami. Jika
sikap keras itu berfaedah dan tidak menimbulkan perkara yang berbahaya,
maka tidaklah mengapa. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda:
Artinya:”
Barangsiapa dari kamu melihat perbuatan munkar, maka hendaklah ia
ingkar dengan tangannya, kalau tidak mampu, maka dengan lisannya lalu
kalau tidak mampu, maka dengan hatinya dan demikian itu adalah
selemah-lemahnya iman.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Jadi,
menurut Imam Al-Ghazali dakwah Islamiyah itu tidak secara otomatis
harus dikerjakan begitu saja, tetapi harus dilihat kepentingannya,
adakah kemungkaran itu terjadi ditengah masyarakat? Sejauh mana
kemungkaran itu dilakukan orang?
Setelah
diketahui kemungkaran itu memang terjadi, barulah dipersiapkan konsep
penanggulangannya untuk selanjutnya ditangani dengan memperhatikan tiga
alternatif tadi yaitu melalui :
a. Kekuasaan atau wewenang yang ada pada dirinya, atau dilaporkan kepada pihak yang berwenang untuk ditangani
b. Peringatan atau nasihat yang baik dalam Al-quran disebut mau’idhoh hasanah
c. Ingkar dalam hati, artinya hati kita menolak tidak setuju
d.
Pengajaran dan nasihat dengan perkataan yang baik dengan cara tutur
kata yang lemah lembut sehingga akan terkesan di hati, menghindari sikap
sinis dan kasar, serta tidak menyebut-nyebut kesalahan atau bersikap
menghakimi orang yang diajak bicara.
Secara
umum, karakteristik dakwah Islam harus mengacu pada pesan moral
universal ajaran Islam yang mendasar dan mencerminkan nilai-nilai
rahmatan li al-alamin sebagai manifestasi dari rasa kasih sayang,
keikhlasan dan tanggung jawab yang merefleksikan kemaslahatan,
kemanfaatan, kesejahteraan, dan bernilai guna bagi semua pihak seluruh
makhluk. Baik untuk sesama muslim (ukhwah islamiyah), sesama manusia
(ukhwah basyariyah), sesama makhluk, dan bahkan alam sekitar dan
ekologinya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam Al-quran surat
Al-Anbiya ayat 107:
Artinya. “Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. Al-Anbiya ayat 107)
Relevansi konsep dakwah sufi di era modern
Banyak orang yang meragukan
relevensi konsep dakwah sufi di era modern ini. Mereka menganggap
bahwasanya konsep dakwah sufi adalah konsep yang sudah usang dan tidak
layak pakai lagi di era modernisasi dan globalisasi sekarang ini. Bahkan
ada yang beranggapan bahwa konsep dakwah sufi hanya cocok di era yang
sudah lampau dan tidak akan pernah kembali lagi. Tapi kiranya orang yang
meragukan hal tersebut menelaah kembali dan menguji konsep dakwah sufi
tersebut maka dia akan tahu sampai seberapa relevansi konsep dakwah sufi
di era sekarang. Pada sub ini kami merasa perlu mengutip banyak sebuah
makalah yang ditulis oleh Aprilina hartanti dalam sebuah blogger
kumpulan makalah psikologi.
Banyak
cara yang diajukan para ahli untuk mengatasi masalah yang muncul akibat
modernisasi dan globalisasi dan salah satu cara yang hampir disepakati
para ahli adalah dengan cara mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan
bertasawuf. Salah satu tokoh yang begitu sungguh-sungguh memperjuangkan
akhlak tasawuf bagi mengatasi masalah tersebut adalah Husein Nashr.
Menurutnya, faham sufisme ini mulai mendapat tempat di kalangan
masyarakat (termasuk masyarakat barat) karena mereka mulai mencari-cari
dimana sufisme yang dapat menjawab sejumlah masalah tersebut.
Sufisme perlu dimasyarakatkan pada kehidupan modern karena terdapat 3 tujuan yang penting yaitu :
a.
Turut serta terlibat dalam berbagai peran dalam menyelamatkan
kemanusiaan dari kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai
spiritual.
b. Memperkenalkan
literatur atau pemahaman tentang aspek esoterik (kebatinan) Islam, baik
terhadap masyarakat islam yang mulai melupakannya maupun non islam,
khususnya terhadap masyarakat barat. Untuk memberikan penegasan kembali
bahwa sesungguhnya aspek esoterik Islam, yakni sufisme, yaitu jantung
dari ajaran islam sehingga bila wilayah ini kering dan tidak berdenyut ,
maka keringlah aspek-aspek lain ajaran islam
Relevansi
tasawuf dengan problem manusia modern adalah karena tasawuf secara
seimbang memberikan kesejukan batin dan disiplin syari’ah sekaligus. Ia
bisa difahami sebagai pembentuk tingkah laku melalui pendekatan Tasawuf
suluky, dan bisa memuaskan dahaga intelektual melalui pendekatan Tasawuf
falsafy. Ia bisa diamalkan oleh setiap muslim, dari lapisan sosial
manapun dan di tempat manapun. Secara fisik mereka menghadap satu arah,
yatiu Ka’bah, dan secara rohaniah mereka berlomba lomba menempuh jalan
(tarekat) melewati ahwal dan maqam menuju kepada Tuhan yang Satu, Allah
SWT. Tasawuf adalah kebudayaan Islam, oleh karena itu budaya setempat
juga mewarnai corak Tasawuf sehingga dikenal banyak aliran dan
tarekat.Telah disebut di muka bahwa ber-tasawuf artinya mematikan nafsu
dirinya untuk menjadi Diri yang sebenarnya. Jadi dalam kajian Tasawuf,
nafs difahami sebagai nafsu, yakni tempat pada diri seseorang dimana
sifat-sifat tercela berkumpul, Al Ashlu Al Jami` Li As Sifat Al Mazmumah
Min Al Insan. Nafs juga dibahas dalam kajian Psikologi dan juga
filsafat. Dalam upaya memelihara agar tidak keluar dari koridor
Al-Qur’an maka baik Tasawuf maupun Psikologi (Islam) perlu selalu
menggali konsep nafs (dan manusia) menurut Al-Qur’an dan hadis.
Tasawuf
dan modernitas pada dasarnya sejak awal perkembangan islam gerakan
tasawuf mendapat sambutan luas di kalangan umat islam. Bahkan penyebaran
islam di Indonesia lebih mudah berkat dakwah menggunakan pendekaatan
tasawuf. Penekanan pada sisi esoteric agama (hal-hal yang bersifat
batiniah dari agama) lebih mengundang daya tarik ketimbang eksoteriknya
(Formalitas ritual agama) Salah satunya disebabkan oleh adanya
persinggungan antara sisi esoteric dengan pergulatan eksistensi manusia.
Kecenderungan animisme dan dinamisme (kepercayaan terhadap benda-benda
yang mengandung keramat dan ruh-ruh leluhur yang bisa menjadi perantara
kepada Tuhan) misalnya menyiratkan ketertarikan yang besar terhadap sisi
esoteric itu. Faktor seperti inilah yang mendorong Hamka meneliti
Tasawuf sebagaimana ia jelaskan dalam bukunya :“Tidaklah dapat diragukan
lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting
yang mempengaruhi perasaan dan pikiran kaum muslimin (1981;20)
Luasnya
pengaruh tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban islam
menandakan tasawuf relevan dengan kebutuhan umat islam. Menurut Hamka
tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh dan merasakan jantung dari
keislaman.
Dalam masyarakat
modern fenomena ketertarikan terhadap pengajian bernuansa tasawuf
mencerminkan adanya kebutuhan untuk mengatasi problem alenasi yang
diakibatkan modernitas. Modernitas memberikan kemudahan mhidup tetapi
tidak selalu memberikan kebahagiaan Intisari ajaran tasawuf sebagaimana
paham mistisme dalam agama-agama lain adalah bertujuan memperoleh
hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga seseorang merasa
dengan kesadaranya itu berada di kehadirat-Nya. Upaya ini antara lain
dilakukan secara kontemplasi, melepaskan diri dari jeratan dunia yang
senantiasa berubah dan bersifat sementara. Sikap dan pandangan sufistik
ini sangat diperlukan oleh masyarakat modern yang mengalami jiwa yang
terpecah sebagaimana disebutkan, asalkan pandangan terhadap tujuan
tasawuf tidak dilakukan secara ekslusif dan individual, melainkan
berdaya aplikatif dalam meresponi berbagai masalah yang dihadapi.
Kemampuan
berhubungan dengan Tuhan ini dapat mengintegrasikan seluruh ilmu
pengetahuan yang tampak berserakan karena melalui tasawuf ini seseorang
disadarkan bahwa sumber segala yang ada ini berasal dari Tuhan. Dengan
adanya bantuan tasawuf ini, maka ilmu pengetahuan satu dan lainya tidak
akan bertabrakan karena ia berada dalam satu jalan dan satu tujuan.
Selanjutnya tasawuf melatih manusia agar memiliki ketajaman batin dan
kehalusan budi pekerti. Sikap batin dan kehalusan budi yang tajam ini
menyebabkan ia akan selalu mengutamakan pertimbangan kemanusiaan pada
setiap masalah yang dihadapi dengan demikian ia akan terhindar dari
melakukan perbuatan perbuatan yang tercela menurut agama selanjutnya
ajaran tawakkal pada Tuhan menyebabkan ia memiliki pegangan yang kokoh,
karena ia telah mewakilkan atau menggadaikan dirinya sepenuhnya pada
Tuhan, sikap tawakkal ini akan mengatasi sikap stress yang dialami oleh
manusia. Sikap materialistic dan hedonistic yang merajalela dalam
kehidupan modern ini dapat diatasi dengan menerapkan konsep zuhud, yang
pada intinya sikap yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh
pengaruh duniawi yang sementara itu. Jika sikap ini tidak mantap, maka
ia tidak akan berani menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan ,
sebab tujuan yang ingin dicapai dalam tasawuf adalah menuju Tuhan, maka
caranya pun harus ditempuh dengan cara yang disukai Tuhan.
Demikian
pula ajaran uzlah yang terdapat dalam tasawuf yaitu usaha mengasingkan
diri dari terperangkat oleh tipu daya keduniaan, dapat pula digunakan
untuk membekali masyarakat modern agar tidak menjadi sekruft dari mesin
kehidupan. Yang tidak tahu lagi arahnya mau dibawa kemana. Tasawuf
dengan konsep uzlahnya itu berusaha membebaskan manusia dari
perangkap-perangkap kehidupan tapi ia tetap mengendalikan aktivitasnya
sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, dan bukan sebaliknya larut dalam
pengaruh keduniaan. Terakhir problematika masyarakat modern diatas
adalah sejumlah manusia yang kehilangan masa depanya, merasa kesunyian
dan kehampaan jiwa di tengah-tengah derunya laju kehidupan.
Modernisme
merupakan tanda kemajuan dan moderniame juga merupakan tanda kemunduran
suatu bangsa. Perkembangan dalam berbagai bidang, dari bidang ekonomi
sampai bidang teknologi. Hal telah banyak membuat kita lupa akan daratan
kita –tujuan awal– yang sejak awal kita bangun. Kenyataannya,
modernisme makin hari membawa diri kita terselubungi dengan perkembangan
teknologi.
Efeknya, penghayatan
terhadap Islam mulai digantikan dengan penghayatan duniawi yang serba
ingin modern. Prinsip materiaistik memenuhi otak pikiran, yang
melepaskan kontrol agama dan kebebasan bertindak demi memenuhi
modernisme telah berkuasa untuk mengalahkan terapi sufisme atau tasawuf.
Masyarakat modern semakin mendewakan keberadaan ilmu pengetahuan, maka
seakan-akan kita berada pada wilayah pinggiran yang bermadzab
ke-barat-an dan bahkan kita hampir-hampir kehilangan visi kailahian. Hal
inilah yang membuat kita makin stress dan gersang hati kita dengan
dunia, akibat tidak mempunyai pegangan hidup. Dalam teori kesuksesan
yang diterapkan oleh Ary Gynanjar yang mengilustrasikan keberadaan diri
kita sudah dan telah memiliki kekuatan atau kemampuan yang berupa IQ, EQ
dan SQ. Yang mana, ketika kemampuan itu membentengi manusia dalam
hariannya untuk menjadi manusia yang sukses atau manusia yang kamil.
Untuk itulah, teori yang diterapkan oleh Ary Gynanjar harus
diseimbangkan dalam diri personal. Sebab, akibat yang ditimbulkan dari
ketidakseimbangan tersebut akan merubah diri seorang hidup tanpa
peganggan yang lari sana dan lari sini, ikut sana dan ikut, tidak punya
prinsip yang diandalkan. Wujud dari kemampuan manusia, umunnya berupa
kekuatan ekonomi, teknologi, dan kekuatan ibadiyah. Wajar sekali,
kekuatan ekonomi dan teknologi saat ini sangat diperlukan bagi penunjang
keberhasilan umat Islam demi menjaga dan mengangkat harkat dan martabat
umat itu sendiri. Hal ini disebabkan maraknya perkembangan dan
kebutuhan duniawi yang marak juga. Maka dari itu, keselamatan seseorang
ditentukan oleh pribadi masing-masing, di mana ia semakin menjaga
martabat Islam, semakin pula dirinya terjaga dari arus besarnya
kemodernismean. Keseimbangan memang dibutuhkan, tapi realita yang
terjadi ketika insan bertaqorub ilahirobbi yang mana mereka menjalani
hidup penuh dengan nuasa tasawuf tidak disertai yang namanya EQ. Sehinga
yang terjadi, mereka hanya bisa dekat dengan Tuhannya tapi tidak dekat
dengan lingkungannya yakni masyarakat sekitarnya.
Tarekat- tarekat sufi yang menyebar di Negara- Negara maju :
Dari
wujud relevansi konsep dakwah sufi adalah menyebarnya tarekat- tarekat
sufi di belahan- belahan dunia terutama di negara- negara maju. Dan kali
ini akan kami paparkan sekelumit dari contoh tarekat- tarekat yang
sudah menembus negara maju.
Pada
awalnya pengenalan diskursus tasawuf di Barat, sebagian terselenggara
melalui informasi akademis, melalui buku-buku yang ditulis, hasil
penelitian lapangan, ataupun terjemahan karya-karya para sufi dari
bahasa-bahasa Muslim (yakni bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu dsb), ke
dalam bahasa Barat (yaitu bahasa Inggris, Perancis, Belanda, Jerman,
dsb).
Tarekat Naqsyabandiyah
(Haqqaniyah) yang berpusat di Cyprus, tempat kelahiran Syaikh Muhammad
Nazim al-Haqqani dan khalifah beliau Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani
dengan gigih telah berhasil mempunyai banyak cabang di Syria, Amerika
Serikat (Michigan, Chicago dan California dan terdapat di 18 tempat
lainnya), serta cabang-cabangnya di Kanada (Montreal, Toronto,
Vancouver, dsb), Inggris (London dan Birmingham), Perancis, Spanyol (3
tempat), Swedia, Switzerland, Mesir, Jerusalem, Lebanon, Kenya, Jerman,
Belanda, Italia, Argentina (4 tempat), Guadeloup, Australia, Pakistan,
Sri Lanka, Mauritius dan Afrika Selatan, juga di Indonesia, Malaysia,
Jepang (4 tempat), serta Brunei Darussalam. Karya-karya Syaikh Nazim,
baik yang berbahasa Turki, Arab atau berbahasa Inggris, sebagian sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Tarekat
Chisytiyah sebuah tarekat kelahiran India yang di dirikan oleh Syaikh
Mu‘in al-Din Chisyti (w.1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini
ke luar India. Di awal pendiriannya tarekat ini berideologi Sunni. Hal
ini terbukti bahwa para sufi awal Chisyti di India menjadikan ‘Awârif
al-Ma‘ârif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (539-632
H/1145-1234 M) sebagai pegangan mereka. Hingga sekarang ini cabang
Tarekat Chisytiyah juga terdapat di Amerika Serikat misalnya di
Philadelphia, dibawa dan dikembangkan oleh seorang Syaikh Chisytiyah
dari Sri Lanka, bernama Bawa Muhayiddin.
Seorang
orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan pendiri
Tarekat Mawlawiyah misalnya, yaitu Mawlana Jalaludin Rumi ke dunia Barat
adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit secara
kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menterjemahkan dengan baik
seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris.
Demikian juga ia telah menerjemahkan dan menseleksi dari Divan-i Syams-i
Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain Fihi Ma Fihi telah
diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi.
Penutup.
Dengan
demikian konsep dakwah sufi, bukan hanya sebatas menyeru manusia kepada
Allah SWT, banyak hal yang tercangkup di dalamnya, termasuk bagaimana
cara menerapkan Islam dalam tatanan kehidupan, menghadapi tantangannya
dan mengetahui konspirasi para musuh Islam. Hubungan dakwah, amar ma’ruf
nahi munkar tidak bisa dipisahkan. Di sini dapat kita lihat, bahwa pada
kenyataannya dakwah ilallallah selalu ditekankan pada terwujudnya
al-ma’ruf atau al-khair, dan menjadi tugas pokok seorang muslim. Dakwah
yang berisikan amar ma’ruf nahi munkar yang digerakkan orang-orang
muslim, pada praktiknya memang berhadapan dengan dakwah amar munkar nahi
ma’ruf yang dilakukan oleh orang-orang munafik.
Secara
sosiologis, al-ma’ruf dan al-munkar menunjuk pada kenyataan bahwa
kebaikan dan keburukan itu terdapat dalam masyarakat. Umat Islam
dituntut untuk mengenali kebaikan dan keburukan yang ada dalam
masyarakat, kemudian mendorong, memupuk, dan memberanikan diri kepada
tindakan-tindakan kebaikan, dan pada waktu yang sama ia mampu mencegah,
menghalangi, dan menghambat tindakan-tindakan keburukan. waAllahu A’la
wa a’lam.
No comments:
Post a Comment