12.FASAL KETIGA DARI KITAB QAIDAH2 AQIDAH
Pasal ketiga: Dari kitab "Qaidah-qaidah
'Aqidah", mengenai dalil-dalil yang cemerlang buat aqidah, yang telah kami
terjemahkan dengan "Qudus". Maka kami mulai:
Dengan
nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala
pujian bagi Allah yang menganugerahkan pembedaan bagi pencinta-pencinta Sunnah
dengan nur yakin. Dan melebihkan pendu kungpendukung kebenaran akan petunjuk
kepada tiang-tiang agama. Dan menjauhkan mereka dari penyelewengan orang-orang
yang menyeleweng dan dari kesesatan orang-orang yang tidak bertuhan. Memberi
taufiq kepada mereka untuk mengikuti jejak penghulu segala rasul. Meluruskan
mereka untuk menuruti para shahabat yang mulia dan memudahkan bagi mereka,
mengikuti peninggalan ulama-ulama terdahulu yang salih. Sehingga mereka
berpegang teguh dengan yang dikehendaki akal pikiran dengan tali yang kokoh
kuat, dengan perjalanan dan aqidah ulama-ulama yang terdahulu dengan jalan yang
nyata.
Maka
dikumpulkan mereka dengan penerimaan, diantara natijah-natijah akal dan
kehendak-kehendak syari'at yang dinaqalkan (diambil dari pokok-pokok agama).
Dan yakinlah mereka bahwa mengucapkan apa yang menjadi ibadah mereka dari
kata-kata "Laa ilaaha illallaah,
Muhammadurrasuulullaah tidaklah berfae-dah dan berhasil, jikalau tidak
benar-benar meliputi dengan apa yang dibawa oleh kalimah syahadah itu, dari isi dan pokok-pokok-nya.
Mereka
mengetahui bahwa dua kalimah syahadah
di dalam kesingkatannya itu, mengandung keyakinan wujud dzat Allah, sifat-sifatNya dan af'alNya dan mengandung
keyakinan kebenaran Rasul.
Dan
mereka mengetahui bahwa pembangunan keimanan itu adalah di atas sendi-sendi (rukun-rukun) ini, yang
banyaknya empat. Dan masing-masing
rukun itu, berkisar di atas sepuluh pokok
L perkara)
Rukun Pertama : mengenai ma'rifah (mengenai) dzat Allah Ta'ala dan
berkisar di atas sepuluh pokok. Yaitu
: mengetahui dengan wujud Allah Ta'ala,
qidamNya, baqaNya, Dia tidak jauhar,
tidak jisim dan tidak 'aradl. Dia
tidak tertentu dengan sesuatu pihak, tidak tetap di atas sesuatu tempat. Dia dilihat dan Dia Maha Esa.
Rukun Kedua : mengenai sidat-sifatNya dan
melengkapi kepada sepuluh pokok.
Yaitu : mengetahui bahwa Dia itu hidup,
tahu, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, berkata-kata, mahasuci dari
bertempat sifat-sifat yang baharu padaNya, qadim kalamNya, ilmuNya dan
iradahNya.
Rukun Ketiga : mengenai af'alNya dan berkisar di atas sepuluh pokok. Yaitu : bahwa segala perbuatan hamba adalah dijadikan
Allah Ta'ala; Bahwa
segala perbuatan itu adalah usaha
bagi hamba dan kehendak bagi Allah. Bahwa Dia mengurniai dengan menjadikan dan menciptakan.
Bahwa Dia mempunyai hak taklif
(menugaskan) apa yang tidak disanggupi. Bahwa Dia mempunyai hak menyakiti orang yang tidak berdosa.
Tidak wajib atasNya menjaga yang lebih
baik. Bahwa tiada yang wajib melainkan dengan apa yang diwajibkan agama. Bahwa mengutuskan nabi-nabi itu jaiz (sesuatu yang boleh saja, bukan
suatu kewajiban). Dan bahwa kenabian Nabi Muhammad saw. itu benar, yang dikuatkan dengan mu'jizat-mu
'jizat.
Rukun Keempat : mengenai sam'iyyat (hal-hal yang didengar dari
agama) dan berkisar di atas sepuluh
pokok. Yaitu : adanya pengumpulan
dan kebangkitan sesudah mati, pertanyaan
Munkar dan Nakir, 'azab qubur, neraca, titian, menjadikan sorga, neraka dan
hukum-hukum mengenai kepemimpinan
(mengenai siapa yang menjadi imam di kalangan ummat Islam), bahwa keutamaan
para shahabat Nabi itu, adalah menurut urutan penyebutan nama mereka dan
syarat-syarat menjadi imam bagi kaum muslim in (syarat-syarat memegang jabatan imamah).
Rukun
Pertama: Dari
rukun-rukun Iman, ialah mengenai {ma'rifah) dzat Allah Subhanahu wa Ta'ala.
Bahwa Allah Ta'ala itu Esa. Rukun ini berkisar di atas sepuluh pokok.
Pokok Pertama : mengenai adanya Allah Ta'ala.
Nur
yang pertama-tama yang menyinarinya dan yang berjalan dengan jalan memperoleh
ibarat, ialah apa yang telah ditunjuki oleh Al-Quran. Maka tak adalah
penjelasan, sesudah penjelasan Allah Ta'ala.
Berfirman
Allah Ta'ala :
"Bukankah Kami telah menjadikan bumi bagai
hamparan (terbentang luas)? Dan gunung-gunung sebagai pasak (nya)? Dan kamu
Kami ciptakan berpasangan. Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat. Dan Kami
jadikan malam sebagai tutup. Dan siang Kami jadikan untuk mencari penghidupan.
Dan Kami bangun di atas kamu tujuh yang teguh. Dan Kami jadikan lampu yang
terang ben-derang. Dan Kami turunkan dari awan air yang tercurah. Karena dengan
itu Kami hendak menghasilkan tanaman yang berbuah dan tumbuh-tumbuhan. Dan
kebun-kebun yang berlapis-lapis pohonnya". (S. An-Naba', ayat 6 s/d ayat 16).
Berfirman
Allah Ta'ala :
"Sesungguhnya tentang ciptaan langit dan bumi,
pertukaran malam dan siang, kapal yang berlayar di lautan yang memberi manfa'at
kepada manusia, air (hujan) yang diturunkan Tuhan dari langit, lalu
dihidupkanNya (karena hujan itu) bumi yang sudah mati (kering) dan
berkeliaranlah berbagai bangsa binatang dan perkisaran angin dan awan yang
disuruh bekerja diantara langit dan bumi, sesungguhnya semua itu menjadi bukti
kebenaran untuk orang-orang yang mengerti (S. Al-Baqarah, ayat 164).
Berfirman
Allah Ta'ala :
"Tidakkah kamu perhatikan, bagaimana Tuhan
menciptakan tujuh langit, sepadan satu sama lain? Dan dijadikanNya bulan
bercahaya terang dan dijadikanNya matahari bagai pelita? Dan Tuhan menumbuhkan kamu dari bumi dengan pertumbuhan (yang
berangsur-angsur). Kemudian itu kamu dikembalikannya kesitu, dan kamu
dikeluarkanNya dengan kelahiran (baru)".(S. Nuh, ayat 15 s/d ayat I8).
Berfirman
Allah Ta'ala :
"Tidaklah
kamu perhatikan (air mani) yang kamu tumpahkan ? Kamukah yang menciptakan atau
Kamilah yang menciptakan? Kami telah mnentukan kematian kepada kamu dan Kami
tiada dapat dikalahkan. Untuk menukar rupa kamu dan menjadikan kamu dalam
(rupa) yang tiada kamu ketahui. Dan kamu sudah tentu telah mengetahui kejadian
yang pertama. Mengapa kamu tidak mengambil perhatian? Adakah kamu perhatikan
apa yang kamu tanam? Kamukah yang menumbuhkannya atau Kami yang menumbuhkan?
Dan kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi kering dan hancur, kamu tercengang
karenanya. (Mengatakan) : Sesungguhnya kami telah dibebani dengan hutang.
Tetapi kami tiada memperoleh hasil (dari pekerjaan kami). Adakah kamu
perhatikan air yang kamu minum-? Kamukah yang rnenurunkannya dari awan ata.u
Kamikah yang rnenurunkannya? Kalau Kami mau, ia Kami jadikan menjadi asin.
Mengapakah kamu tiada berterima kasih? Adakah kamu perhatikan api yang kamu
nyalakan? Kamukah yang menumbuhkan kayu untuk menyalakannya atau Kamikah yang
menumbuhkannya? Itu Kami jadikan untuk pengajaran dan kesenangan bagi musyafir
di gunung pasir(S. Al-Waqi'ah, ayat 58 s/d 73).
Maka
tidaklah tersembunyi, kepada orang yang ada padanya sedikit sentuhan akal,
apabila memperhatikan dengan pikiran yang sederhana saja akan kandungan
ayat-ayat di atas tadi. Dan menolehkan arah pandangannya kepada segala
keaja'iban makhluk Allah di bumi dan di langit, kecantikan kejadian hewan dan
tumbuh — tumbuhan. Bahwa keadaan yang amat mena'jubkan itu dan susunannya yang
kokoh kuat, tidaklah ia terlepas daripada Pencipta yang mengaturnya, dari
Pembuat yang mengokohkan dan yang mentaqdirkannya Bahkan hampirlah kiranya fithrah (kejadian diri yang suci bersih)
dari jiwa sendiri, mengakui bahwa semuanya itu di dalam keadaan ADA yang menentukan dibawah pengaruhNya
dan yang menentukan arah, dengan kehendak pimpinanNya.
Dari
itu, berfirman Allah Ta'ala :
(Afillaahi
syak kun faath iris-sam aawaati wa!-ardli).
Artinya
:"Apakah kamu ragu-ragu tentang
Tuhan, Pencipta langit dan bumi ?". (S. Ibrahim, ayat 10)."
Maka
karena itulah diutus nabi-nabi rahmat Allah kepada mereka untuk memanggil ummat
kepada tauhid, supaya mengucapkan "Laa ilaaha illallaah" (Tidak
ada yang disembah selain Allah). Dan tidak disuruh mengucapkan : "Kami mempunyai Tuhan dan alam pun
mempunyai Tuhan". Cara yang demikian itu adalah merupakan paksaan
di dalam fithrah kejadian akal manusia, dari permulaan pertumbuhan mereka dan
masa perkembangan kepemudaannya. Dari itu berfirman Allah Ta'ala kepada kita :
(Wa
la-in sa-altahum man khalaqas-sam aawaati wal-ardla layaquu-lunnallaah).
Artinya
:"Kalau engkau menanyakan kepada mereka, siapakah yang menciptakan
langit dart bumi, niscaya mereka akan menjawab: 'Allah ".(S.
Luqman, ayat 25).
Dan
berfirman Allah Ta'ala :
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
لا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ
(Fa-aqim
wajhaka liddiini haniifan fithratallaahillatii fatharannaasa 'alaihaa laa
tabdiila likhalqillaahi dzaalikaddiinul qayyimu).
Artinya
:"Hadapkanlah muka engkau dengan betul kepada agama, ciptaan Tuhan,
yang dijadikanNya manusia sesuai dengan agama itu. Tiada pertukaran bagi
ciptaan Tuhan itu. Itulah agama yang betul!".(S. Ar-Rum, ayat 30).
Jadi,
di dalam fithrah kejadian manusia itu dan dalil-dalil yang ditunjukan
Al-Qur'an, sudah lebih dari cukup daripada menegakkan dalil-dalil lain. Tetapi
untuk lebih jelas dan karena mengikuti jejak ulama-ulama yang berpandangan
jauh, maka kami mengatakan bahwa dari permulaan dalil itu, ialah :akaI Karena yang baharu
(haadits) itu, tak dapat tidak pada kejadiannya, dengan ADA SEBAB yang menjadikannya.
Bahwa
alam itu baharu, maka tak boleh tidak pada kejadiannya dari SEBAB itu. Adapun
kata kita bahwa yang baharu itu tak boleh tidak pada kejadiannya daripada
SEBAB, maka itu adalah jelas. Karena tiap-tiap yang baharu ditentukan adanya
dengan waktu, yang mana menurut akal,
waktu itu boleh jadi terdahulu dan boleh jadi terkemudian.
Maka
untuk menentukan waktu itu, tidak
terdahulu dan tidak terkemudian daripada jangkanya, sudah pasti memerlukan
kepada YANG MENENTUKAN (Mukhashshish).
Adapun
kata kita : alam itu baharu, maka dalilnya ialah, bahwa
tubuh (jisim) alam itu, tidak terlepas daripada gerak dan diam. Gerak dan diam itu adalah baharu.
Tiap-tiap sesuatu yang tidak terlepas dari sifat-sifat baharu adalah baharu.
Di dalam pembuktian ini, terdapat tiga dakwaan :
Dakwaan Pertama : kata kita bahwa jisim-jisim
itu tidak terlepas dari gerak dan diam. Dan ini dapat dipahami dengan
jelas dan mudah Maka tidaklah memerlukan kepada penelitian dan pemikiran. Sebab
orang yang berpikir bahwa jisim itu tidak tetap dan diam, adalah orang itu berjalan di atas jembatan kebodohan dan
menderita penyakit pikiran.
Dakwaan Kedua : kata kita bahwa. gerak dan diam itu adalah baharu.
Hal ini ditunjukan oleh ganti berganti diantara keduanya. Adanya yang satu
sesudahnya yang lain. Dan itu dapat dipersaksikan pada sekalian jisim, baik
yang sudah dilihat ataupun yang belum dilihat. Tidak ada satupun dari yang
tetap. Melainkan menurut akal dia boleh tetap.
Maka yang datang dari gerak dan tetap itu adalah baharu karena datangnya.
Dan yang dahulu itu baharu karena tidak adanya. Sebab, kalau dia itu qidam
(qadim), niscaya mustahil dia tidak ada, sebagaimana akan datang keterangannya
dan dalilnya pada menetapkan kekalnya PENCIPTA yang Maha Tinggi dan Maha Suci.
Dakwaan Ketiga : kata kita bahwa apa yang tidak terlepas daripada
sifat-sifat baharu, adalah baharu. Dalilnya ialah jikalau tidaklah demikian,
maka sesungguhnya telah ada sebelum tiap-tiap yang baharu itu, yang baharu-baharu
(hawadits), yang tak berpermulaan baginya.
Dan
kalau tidaklah berlalu hawadits itu,
dengan keseluruhannya niscaya tidak berkesudahanlah pergantian kepada adanya
yang baharu ada sekarang. Dan berlalunya apa yang tiada berkesudahan itu, mustahil.
Karena
sesungguhnya, jikalau adalah bagi cakrawala itu perputaran yang tiada berkesudahan, maka tidak tersembunyilah
bilangannya itu, dari genap atau ganjil atau genap dan ganjil kedua-duanya. Atau tidak genap dan tidak ganjil. Dan mustahillah adanya genap dan ganjil kedua-duanya atau tidak
genap dan tidak ganjil. Sebab
yang demikian adalah mengumpulkan diantara nafi
(tidak) dan itsbat (ada). Karena
pada meitsbatkan yang satu, adalah menafikan yang lain. Dan mustahil
adanya genap saja, karena genap itu akan menjadi ganjil dengan bertambah satu. Maka
bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepada yang tidak berkesudahan? Dan
mustahil pula adanya ganjil saja, karena ganjil itu akan menjadi genap dengan bertambah
satu. Maka bagaimanakah yang satu itu memerlukan kepadanya, sedang dia tidak
berkesudahan bilangannya?
Dan
mustahil pula bahwa adanya tidak genap dan tidak ganjil, karena dia
berkesudahan.
Maka
kesimpulannya dari itu semuanya, bahwa alam tidak terlepas dari sifat-sifat
baharu. Maka adalah ia baharu. Dan apabila telah benar baharunya, maka dia
memerlukan kepada yang membaharu-kannya (muhdits), yang dapat diketahui dengan
mudah.
Pokok Kedua : mengetahui bahwa Allah
Ta'ala itu qadim, senantiasa, azali,
tak ada bagi wujudNya permulaan. Tetapi Dialah permulaan tiap-tiap sesuatu dan
sebelum ada sesuatu yang mati dan yang hidup.
Dalilnya :
jikalau adalah Dia itu baharu, tidak
qadim, maka Dia memerlukan pula kepada muhdits (yang membaharukan). Yang muhdits
itu memerlukan kepada muhdits lagi, lalu tali-bertalilah demikian, sampai
kepada yang tak berpenghabisan. Dan
yang tali bertali itu tidak membawa hasil atau berkesudahan kepada muhdits yang qadim, yaitu yang pertama. Dan inilah sebenarnya yang
dicari yang kita namakan : Pencipta alam,
Pembuat, Penjadi dan Khaliqnya.
Pokok Ketiga : mengetahui bahwa Allah
Ta'ala serta adaNya azali abadi, tak adalah bagi wujudNya berakhir
(berkesudahan). Dialah yang awal, yang
akhir, yang dhahir dan yang bathin. Karena manakala telah benar qidamNya,
maka mustahillah tiadaNya (adamNya). Dalilnya
: jikalau Allah Ta'ala itu menghadapi ketiadaan, maka adalah Dia tidak
terlepas, adakalanya ketiadaanNya itu dengan sendiriNya atau dengan sesuatu yang meniadakanNya yang melawani Dia.
Jikalau
boleh akan tiadanya sesuatu dengan sendirinya yang ter-gambar kekalnya, niscaya
boleh akan didapati sesuatu dengan sendirinya yang tergambar tak adanya. Maka
sebagaimana kedatangan wujud memerlukan kepada sebab, maka demikian pula
kedatangan ad am (lawan wujud), memerlukan kepada sebab. Dan batil, bahwa dia
menerima adam oleh yang mengadamkannya, yang melawanani dia. Karena yang
mengadamkannya itu, jikalau ia qadim,
maka tidak tergambarlah wujud besertanya.
Dengan
dua pokok yang dahulu itu telah nyata wujud Allah dan qadimNya. Maka bagaimanakah ada wujudNya pada qadim dan besertanya
ada Iawannya?.
Jikalau
lawan yang mengadamkannya itu baharu,
maka adalah mustahil. Sebab tiadalah yang baharu dalam perlawanannya kepada
yang qadim sampai dapat memutuskan wujudnya itu, lebih utama daripada yang qadim sendiri, dalam perlawanannya kepada
yang baharu. Sehingga dapatlah ia mempertahankan wujudnya. Bahkan
mempertahankan wujud itu adalah lebih mudah daripada memutus-kannya. Dan yang
qadim adalah lebih kuat dan lebih utama dari yang baharu (haadits).
Pokok Keempat : mengetahui bahwa tiadalah Allah Ta'ala itu jauhar
yang terbatas di suatu tempat. Tetapi maha-suci dan maha-quduslah Dia daripada
kesesuaian tempat itu.
Dalilnya :
bahwa tiap-tiap jauhar itu mengambil tempat, maka tertentulah dia dengan tempat
itu. Dan tidak terlepas daripada adanya menetap pada tempat itu atau bergerak
daripadanya. Maka tidak terlepaslah dia dari gerak dan diam, yang mana
keduanya itu adalah baharu. Dan apa
yang tidak terlepas dari yang baharu, adalah baharu.
Jikalau
tergambarlah jauhar yang bertempat itu, qadim, maka dapatlah diterima akal akan
qadimnya jauhar-jauhar alam ini. Jikalau seseorang menamakan sesuatu jauhar dan
tidak bermaksud dengan jauhar itu mengambil tempat, maka adalah ia bersalah
dari segi kata-kata. Tidak dari segi
arti.
Pokok Kelima : mengetahui bahwa Allah Ta'ala tidaklah bertubuh (berjisim) yang tersusun daripada jauhar-jauhar.
Karena jisim adalah ibarat dari susunan jauhar-jauhar.
Apabila
batillah adaNya itu jauhar yang
tertentu dengan sesuatu tempat, maka batil pulalah adaNya itu jisim. Sebab
tiap-tiap jisim, tertentu dengan tempat dan tersusun dari jauhar. Maka jauhar
adalah mustahil terlepasnya dari bercerai
dan berkumpul, bergerak dan diam, berkeadaan dan berbatas.
Semuanya
itu, adalah tanda-tanda dari yang baharu. Kalau bolehlah dii'tiqadkan bahwa
pencipta alam itu jisim, maka boleh pulalah dii'tiqadkan ketuhanan matahari,
bulan ataupun yang lain dari bahagian-bahagian yang berjisim. Kalau adalah
orang yang berani menamakan Allah Ta'ala itu jisim, tanpa ada maksud tersusun
dari jauhar-jauhar, maka adalah itu salah dalam menamakan dan benar dalam
meniadakan pengertian jisim.
Pokok Keenam : mengetahui bahwa Allah
Ta'ala tidaklah 'aradl (sifat) yang berdiri pada jisim atau bertempat pada
sesuatu tempat. Karena aradl ialah apa yang bertempat pada jisim. Maka
tiap-tiap jisim -tiada jalan lain- adalah baharu, di mana muhditsnya (yang
menjadikannya) telah ada sebelumnya. Maka bagaimanakah adaNya bertempat pada
jisim, sedang Dia sudah maujud pada azali sendiriNya, tak ada sertaNya yang
lain? Kemudian Dialah yang menjadikan jisim-jisim dan aradl-aradl? Dan karena
Dialah yang tahu, yang berkuasa, yang berkehendak dan yang menjadikan
sebagaimana akan datang keterangannya.
Sifat-sifat
tersebut (sifat-sifat tahu, kuasa,
berkehendak dan menjadikan) adalah mustahil pada aradl. Bahkan tak diterima
oleh akal, kecuali pada yang Maujud yang berdiri dengan sendiriNya, yang bebas
dengan dzatNya.
Dari
pokok-pokok yang tersebut di atas, mungkinlah berhasil pemahaman bahwa Allah
itu maujud, berdiri dengan sendiriNya ,
tidak Dia jauhar, jisim dan aradl. Dan alam seluruhnya adalah jauhar, ardal
dan jisim.
Jadi,
tidaklah Allah Ta'ala menyerupai sesuatu dan tidaklah sesuatu menyerupai Allah
Ta'ala. Tetapi adalah Dia yang hidup, yang berdiri, yang tidak sepertiNya
sesuatu. Betapakah kiranya makhluk itu menyerupai dengan Khaliqnya, yang ditaqdir dengan Yang Mentaqdirkannya dan yang dibentuk
dengan Yang Membentukkannya ?.
Segala
jisim dan 'aradl itu seluruhnya adalah dijadikan dan dicipta-kan oleh Allah
Ta'ala. Maka mustahillah menetapkan persamaan dan penyerupaan dengan Dia.'.
Pokok Ketujuh : mengetahui bahwa Allah Ta'ala maha suci dzatNya dari
ketentuan dengan arah. Arah itu adakalanya di
atas atau di bawah, di kanan atau
di kiri, di muka atau di belakang.
Arah-arah
ini, dijadikan dan didatangkan oleh Allah dengan peran-taraan fwasithah) kejadian
manusia. Karena dijadikanNya bagi manusia itu dua tepi. Yang
satu berpegang kepada bumi dan
dinamakan kaki. Dan yang satu lagi
berhadapan dengan bumi dan dinamakan kepala. Maka datanglah nama atas bagi yang mengiringi arah kepala dan nama bawah bagi yang mengiringi arah kaki.
Sehingga seekor semut yang berjalan terbalik di bawah loteng, maka terba-liklah
arah atas baginya, menjadi arah bawah. meskipun bagi kita itu arah atas namanya.
Dijadikan
oleh Allah bagi manusia dua tangan,
yang satu biasanya lebih kuat dari yang lain. Maka datanglah nama kanan untuk yang lebih kuat dan nama kiri untuk Iawannya. Dan dinamakan arah
yang mengiringi tangan kanan tadi, kanan
dan yang mengiringi satu lagi kiri.
Dijadikan
oleh Allah bagi manusia dua pinggir,
di mana manusia itu melihat dari salah satu keduanya dan bergerak kepadanya.
Maka timbullah nama hadapan (muka)
untuk arah, di mana dia tampil bergerak kepadanya dan nama belakang untuk Iawannya. Segala arah ini adalah baharu, datang
dengan datangnya manusia. Jikalau tidaklah manusia dijadikan dengan bentuk yang
ada ini, tetapi dijadikan bundar seperti bola, maka tak adalah sekali-kali
arah-arah itu. Maka bagaimanakah wujud Allah itu pada azali ditentukan dengan
arah, sedang arah itu adalah baharu? Atau bagaimanakah terjadinya penentuan
Tuhan dengan arah sesudah tak ada bagiNya yang demikian? Apakah caranya dengan
: Allah menjadikan alam di atas-Nya? Maha Sucilah Allah daripada atas bagiNya?
Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kepala.
Dan atas adalah ibarat dari apa yang
ada dijurusan kepala. Atau dengan : Allah menjadikan alam di bawahNya?
Maha-sucilah Allah dari ada bawah
bagiNya! Karena Maha-Sucilah Dia dari mempunyai kaki. Dan bawah adalah
ibarat dari apa yang mengiringi jurusan kaki.
Semuanya
itu termasuk diantara yang mustahil pada akal. Dan karena yang diterima akal
dari adanya tertentu dengan arah, bahwa dia itu ditentukan dengan tempat
ketentuan jauhar atau ditentukan dengan jauhar sebagai ketentuan 'aradl. Dan
telah teranglah mustahil wujudnya Allah itu jauhar atau 'aradl. Dari itu maka
mustahil pulalah wujudNya itu ditentukan dengan arah.
Kalau
dimaksudkan dengan arah selain dari dua pengertian itu, maka adalah salah pada nama serta menolong kepada pengertian.
Dan
karena kalau adalah Allah di atas
alam, berarti adalah Dia setentang dengan alam. Dan tiap-tiap yang setentang
bagi jisim, maka adakalanya, sama dengan jisim itu atau lebih kecil atau lebih
besar daripadanya.
Semua
itu adalah taksiran yang memerlukan
tentunya kepada penaksir.
Maha-Sucilah dari yang demikian itu Al-Khaliq Yang Maha Esa lagi Maha Pengatur.
Mengenai
pengangkatan kedua tangan ketika berdo'a kepada Allah ke arah langit, adalah
ltarena langit itu qiblat do'a. Dan dengan itu juga menjadi isyarat kepada
sifat Allah dengan kebesaran dan keagungan, sebagai pemberitahuan dengan maksud
ke arah tinggi di atas sifat kemuliaan dan ketinggian.
Sesungguhnya
Allah Ta'ala Maha Tinggi di atas tiap-tiap yang maujud dengan keperkasaan dan
kekuasaan.
Pokok Kedelapan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala ber-istiwa' di atas 'ArasyNya, dengan arti yang dikehendaki oleh Allah
dengan istiwa' itu. Yaitu yang tiada berlawanan dengan sifat keagunganNya. Dan
tiada tersentuh kepadaNya tanda-tanda kebaharuan dan kefanaan (kelenyapan).
Inilah
yang dimaksud dengan istiwa' ke
langit, di mana Allah Ta'ala berfirman di dalam Al-Qur'an :
(Tsummas-tawaa
ilas samaa-i wa hiya dukhaan), Artinya :
"Kemudian itu Dia beristiwa' ke langit, ketika
itu berupa asap" (S. Alfushilat, ayat 11).
Dan
tidaklah demikian itu, selain dengan jalan menguasai dan memerintah, seperti
kata seorang penyair :
"Telah
beristiwa'lah manusia itu di Irak, tanpa pedang dan darah
tertumpah.............
Ahli
kebenaran (ahlul-haq) memerlukan kepada penta'wilan ini, sebagaimana ahli
kebathinan (ahlul-bathin) memerlukan kepada penta'wilan firman Allah : "Wa
huwa ma'akum ainamaa kuntum". (Dia
serta kamu di mana saja kamu berada). Karena dengan sepakat firman tersebut
diartikan dengan meliputinya ilmu Allah dan pengetahuanNya.
Begitu
pula sabda Nabi صلى الله عليه وسلم :
"Hati
mu'min itu diantara dua anak jari dari anak-anak jari Tuhan Yang Maha Pengasih
diartikan
kepada qudrah dan perkasanya Tuhan.
Dan
sabda Nabi صلى الله عليه وسلم : :
"Batu
hitam itu (Al-Hajrul-aswad) adalah tangan kanan Allah di bumiNya diartikan
kepada kemuliaan dan keagungan Al-Hajrul-aswad. Karena kalau dibiarkan atas
dhahirnya niscaya mestilah timbul kemustahilan.
Maka
demikian pulalah istiwa Kalau
dibiarkan artinya kepada menetap dan bertempat, maka tentulah yang bertempat
itu jisim, yang bersentuh dengan 'Arasy. Adakalanya seperti 'Arasy atau lebih
besar atau lebih kecil daripadanya.
Yang
demikian itu adalah mustahil.Dan tiap-tiap yang membawa kepada mustahil adalah
mustahil.
Pokok Kesembilan : mengetahui bahwa Allah Ta'ala serta keadaan-Nya
maha-suci daripada bentuk dan batas, maha-qudus daripada arah dan penjuru, Ia
melihat dengan mata-kepala dan mata-hati di negeri akhirat negeri ketetapan,
karena firmanNya :
(Wujuuhun
yauma-idzin naadliratun, ilaa rabbihaa naadhirah).
Artinya
: "Beberapa muka di hari itu bercahaya. Melihat kepada Tuhannya(S.
Al-Qiyamah, ayat 22-23).
Dan
IA tidak dilihat di dunia karena membenarkan firmanNya 'Azza wa Jalla :
(Laa
tudrikuhul abshaaru wa huwa yudrikul abshaar).
Artinya
:"Penglihatan tidak sampai
(mencapai) kepadaNya, tetapi Dia mengetahui segala penglihatan (S.
AI-An'am, ayat 103).
Dan
karena firmanNya yang ditujukan kepada Nabi Musa as. :
Artinya
:"Engkau tidak akan dapat melihat
Aku". (S. Al-A'raaf, ayat 143).
Wahai,
bagaimanakah orang Mu'tazilah itu mengenai sifat Tuhan seru sekalian alam yang
tidak dapat diketahui oleh Musa as.? Dan bagaimana Musa as. menanyakan ru'yah (melihat) Tuhan, sedang ru'yah
itu mustahil? Semoga kebodohan ahli-ahli bid'ah dan hawa nafsu dari orang-orang
yang bodoh dungu itu, adalah lebih utama daripada kejahilan nabi-nabi as.
Adapun
cara melakukan ayat ru'yah tadi secara dhahirnya, maka itu tidaklah membawa
kepada kemustahilan. Karena ru'yah
adalah semacam kasyaf dan ilmu, tetapi lebih sempurna dan lebih
jelas daripada ilmu. Maka apabila boleh penghubungan ilmu kepada-Nya dan IA
tidak pada sesuatu arah, maka boleh pulalah penghubungan ru'yah kepadaNya dan IA tidak dengan perantaraan arah.
Sebagaimana
jaiz (boleh) Allah melihat makhlukNya
dan tidak di dalam keadaan berhadapan dengan mereka, maka boleh pulalah Dia
dilihat oleh makhlukNya tanpa berhadapan. Sebagaimana boleh Dia diketahui tanpa
berkeadaan (berkaifiah) dan berbentuk, maka boleh pulalah Dia dilihat
seperti itu.
Pokok Ke sepuluh : mengetahui bahwa Allah
Ta'ala Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, tunggal, tiada teman bagiNya, sendirian
dengan menjadikan dan mencipta dan maha-kuasa Dia menjadikan dan mengadakan,
tiada yang sepertiNya untuk membagi-bagi dan me-nyamaiNya, tiada lawan bagiNya
untuk bertengkar dan bermusuhan.
Dalilnya
firman Allah Ta'ala :
(Lau
kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).
Artinya
:"Kalau kiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain dari
Allah, sudah tentu ke duanya menjadi rusak binasa (S. Al-Anbia, ayat
22),
Keterangannya :
jikalau tuhan itu dua dan salah satu daripada ke duanya menghendaki sesuatu,
maka tuhan yang ke dua jika diperlukan kepada pertolongannya, niscaya adalah
tuhan yang ke dua ini menjadi terpaksa, yang tidak berdaya. Dan tidaklah dia
sebagai tuhan yang berkuasa penuh. Jika dia berkuasa membantah dan menolak, maka
adalah tuhan yang ke dua ini kuat lagi gagah perkasa. Dan tuhan yang pertama
itu lemah tak berdaya dan tidaklah dia tuhan yang berkuasa.
No comments:
Post a Comment