Posted on 8 November 2009 by Murid
Paramartha
Syekh Abdul Qodir al Jaelani (bernama
lengkap Muhyi al Din Abu Muhammad Abdul Qodir ibn Abi Shalih Zango Dost al
Jaelani). Lahir di Jailan atau Kailan tahun 470 H/1077 M sehingga di akhir nama
beliau ditambahkan kata al Jailani atau al Kailani atau juga al Jiliydan.
Biografi beliau dimuat dalam Kitab Adz Dzail ‘Ala Thabaqil Hanabilah I/301-390,
nomor 134, karya Imam Ibnu Rajab al Hambali. Ia wafat pada hari Sabtu malam,
setelah magrib, pada tanggal 9 Rabiul akhir di daerah Babul Azajwafat di
Baghdad pada 561 H/1166 M.
Masa Muda
Dalam usia 8 tahun ia sudah meninggalkan Jilan menuju
Baghdad pada tahun 488 H/1095 M. Karena tidak diterima belajar di Madrasah
Nizhamiyah Baghdad, yang waktu itu dipimpin Ahmad al Ghazali, yang menggantikan
saudaranya Abu Hamid al Ghazali. Di Baghdad beliau belajar kepada beberapa
orang ulama seperti Ibnu Aqil, Abul Khatthat, Abul Husein al Farra’ dan juga
Abu Sa’ad al Muharrimi. Belaiu menimba ilmu pada ulama-ulama tersebut hingga
mampu menguasai ilmu-ilmu ushul dan juga perbedaan-perbedaan pendapat para ulama.
Dengan kemampuan itu, Abu Sa’ad al Mukharrimi yang membangun sekolah
kecil-kecilan di daerah Babul Azaj menyerahkan pengelolaan sekolah itu
sepenuhnya kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Ia mengelola sekolah ini
dengan sungguh-sungguh. Bermukim di sana sambil memberikan nasehat kepada
orang-orang di sekitar sekolah tersebut. Banyak orang yang bertaubat setelah
mendengar nasehat beliau. Banyak pula orang yang bersimpati kepada beliau, lalu
datang menimba ilmu di sekolah beliau hingga sekolah itu tidak mampu menampung
lagi.
Murid-Murid
Murid-murid beliau banyak yang
menjadi ulama terkenal, seperti al Hafidz Abdul Ghani yang menyusun kitab
Umdatul Ahkam Fi Kalami Khairil Anam, Syeikh Qudamah, penyusun kitab fiqh
terkenal al Mughni.
Perkataan Ulama tentang Beliau
Syeikh Ibnu Qudamah sempat tinggal
bersama beliau selama satu bulan sembilan hari. Kesempatan ini digunakan untuk
belajar kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani sampai beliau meninggal dunia.
(Siyar A’lamin Nubala XX/442).
Syeikh Ibnu Qudamah rahimahullah
ketika ditanya tentang Syeikh Abdul Qadir menjawab, ”Kami sempat berjumpa
dengan beliau di akhir masa kehidupannya. Ia menempatkan kami di sekolahnya. Ia
sangat perhatian terhadap kami. Kadang beliau mengutus putra beliau yang
bernama Yahya untuk menyalakan lampu buat kami. Ia senantiasa menjadi imam
dalam shalat fardhu.”
Beliau adalah seorang yang berilmu,
beraqidah Ahlu Sunnah, dan mengikuti jalan Salaf al Shalih. Belaiau dikenal
pula banyak memiliki karamah. Tetapi, banyak (pula) orang yang membuat-buat
kedustaan atas nama beliau. Kedustaan itu baik berupa kisah-kisah,
perkataan-perkataan, ajaran-ajaran, tariqah (tarekat/jalan) yang berbeda dengan
jalan Rasulullah, para sahabatnya, dan lainnya. Di antaranya dapat diketahui
dari pendapat Imam Ibnu Rajab.
Tentang Karamahnya
Syeikh Abdul Qadir al Jaelani adalah seorang yang diagungkan
pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak
memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul
Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir
al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan
Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri’ lahir di Kairo
tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu
dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang
aneh dan besar (kebohongannya).
Syeikh Abdul Qadir al Jaelani adalah seorang yang diagungkan
pada masanya. Diagungkan oleh para syeikh, ulama, dan ahli zuhud. Ia banyak
memiliki keutamaan dan karamah. Tetapi, ada seorang yang bernama al Muqri’ Abul
Hasan asy Syathnufi al Mishri (nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Yusuf bin Jarir
al Lakhmi asy Syathnufi) yang mengumpulkan kisah-kisah dan keutamaan-keutamaan
Syeikh Abdul Qadir al Jailani dalam tiga jilid kitab. Al Muqri’ lahir di Kairo
tahun 640 H, meninggal tahun 713 H. Dia dituduh berdusta dan tidak bertemu
dengan Syeikh Abdul Qadir al Jailani. Dia telah menulis perkara-perkara yang
aneh dan besar (kebohongannya).
“Cukuplah seorang itu berdusta, jika
dia menceritakan yang dia dengar”, demikian kata Imam Ibnu Rajab. “Aku telah
melihat sebagian kitab ini, tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang
dengannya, sehingga aku tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali
kisah-kisah yang telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab
ini banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Juga terdapat
perkara-perkara yang jauh dari agama dan akal, kesesatan-kesesatan,
dakwaan-dakwaan dan perkataan yang batil tidak berbatas, seperti kisah Syeikh
Abdul Qadir menghidupkan ayam yang telah mati, dan sebagainya. Semua itu tidak
pantas dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah.”
Kemudian didapatkan pula bahwa al
Kamal Ja’far al Adfwi (nama lengkapnya Ja’far bin Tsa’lab bin Ja’far bin Ali
bin Muthahhar bin Naufal al Adfawi), seorang ulama bermadzhab Syafi’i. Ia
dilahirkan pada pertengahan bulan Sya’ban tahun 685 H dan wafat tahun 748 H di
Kairo. Biografi beliau dimuat oleh al Hafidz di dalam kitab Ad Durarul Kaminah,
biografi nomor 1452. al Kamal menyebutkan bahwa asy Syathnufi sendiri tertuduh
berdusta atas kisah-kisah yang diriwayatkannya dalam kitab ini.(Dinukil dari
kitab At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya Syeikh Abdul
Qadir bin Habibullah as Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8 Dzulqa’dah 1415
H / 8 April 1995 M.).
Karya
Imam Ibnu Rajab juga berkata,
”Syeikh Abdul Qadir al Jailani rahimahullah memiliki pemahaman yang bagus dalam
masalah tauhid, sifat-sifat Allah, takdir, dan ilmu-ilmu ma’rifat yang sesuai
dengan sunnah.”
Karya beliau, antara lain :
- al Ghunyah Li Thalibi Thariqil Haq,
- Futuhul Ghaib.
Murid-muridnya mengumpulkan ihwal
yang berkaitan dengan nasehat dari majelis-majelis beliau. Dalam
masalah-masalah sifat, takdir dan lainnya, ia berpegang dengan sunnah. Ia
membantah dengan keras terhadap orang-orang yang menyelisihi sunnah.
Beberapa Ajaran Beliau
Sam’ani berkata, ” Syeikh Abdul
Qadir Al Jailani adalah penduduk kota Jailan. Ia seorang Imam bermadzhab
Hambali. Menjadi guru besar madzhab ini pada masa hidup beliau.” Imam Adz
Dzahabi menyebutkan biografi Syeikh Abdul Qadir Al Jailani dalam Siyar A’lamin
Nubala, dan menukilkan perkataan Syeikh sebagai berikut,”Lebih dari lima ratus
orang masuk Islam lewat tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang telah
bertaubat.”
Imam Adz Dzahabi menukilkan perkataan-perkataan
dan perbuatan-perbuatan Syeikh Abdul Qadir yang aneh-aneh sehingga memberikan
kesan seakan-akan beliau mengetahui hal-hal yang ghaib. Kemudian mengakhiri
perkataan, ”Intinya Syeikh Abdul Qadir memiliki kedudukan yang agung. Tetapi
terdapat kritikan-kritikan terhadap sebagian perkataannya dan Allah menjanjikan
(ampunan atas kesalahan-kesalahan orang beriman ). Namun sebagian perkataannya
merupakan kedustaan atas nama beliau.”( Siyar XX/451 ). Imam Adz Dzahabi juga
berkata, ” Tidak ada seorangpun para kibar masyasyeikh yang riwayat hidup dan
karamahnya lebih banyak kisah hikayat, selain Syeikh Abdul Qadir Al Jailani,
dan banyak diantara riwayat-riwayat itu yang tidak benar bahkan ada yang
mustahil terjadi“.
Syeikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali
berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil,hal.136, ” Aku telah mendapatkan
aqidah beliau ( Syeikh Abdul Qadir Al Jaelani ) didalam kitabnya yang bernama
Al Ghunyah. (Lihat kitab Al-Ghunyah I/83-94) Maka aku mengetahui bahwa dia
sebagai seorang Salafi. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan
aqidah-aqidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah kelompok-kelompok
Syi’ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah, dan kelompok lainnya dengan
manhaj Salaf.” (At Tashawwuf Fii Mizanil Bahtsi Wat Tahqiq, hal. 509, karya
Syeikh Abdul Qadir bin Habibullah As Sindi, Penerbit Darul Manar, Cet. II, 8
Dzulqa’dah 1415 H / 8 April 1995 M.)
Inilah tentang beliau secara
ringkas. Seorang ‘alim Salafi, Sunni, tetapi banyak orang yang menyanjung dan
membuat kedustaan atas nama beliau. Sedangkan beliau berlepas diri dari semua
kebohongan itu. Wallahu a’lam bishshawwab.
Awal Kemasyhuran
Al-Jaba’i berkata bahwa Syaikh Abdul
Qadir al-Jaelani pernah berkata kepadanya, “Tidur dan bangunku sudah diatur.
Pada suatu saat dalam dadaku timbul keinginan yang kuat untuk berbicara. Begitu
kuatnya sampai aku merasa tercekik jika tidak berbicara. Dan ketika berbicara,
aku tidak dapat menghentikannya. Pada saat itu ada dua atau tiga orang yang
mendengarkan perkataanku. Kemudian mereka mengabarkan apa yang aku ucapkan
kepada orang-orang, dan merekapun berduyun-duyun mendatangiku di masjid Bab
Al-Halbah. Karena tidak memungkinkan lagi, aku dipindahkan ke tengah kota dan
dikelilingi dengan lampu. Orang-orang tetap datang di malam hari dengan membawa
lilin dan obor hingga memenuhi tempat tersebut. Kemudian, aku dibawa ke luar
kota dan ditempatkan di sebuah mushalla. Namun, orang-orang tetap datang
kepadaku, dengan mengendarai kuda, unta bahkan keledai dan menempati tempat di
sekelilingku. Saat itu hadir sekitar 70 orang para wali radhiallahu ‘anhum]].
Kemudian, Syaikh Abdul Qadir
melanjutkan, “Aku melihat Rasulullah SAW sebelum dzuhur, beliau berkata
kepadaku, “anakku, mengapa engkau tidak berbicara?”. Aku menjawab, “Ayahku,
bagaimana aku yang non arab ini berbicara di depan orang-orang fasih dari
Baghdad?”. Ia berkata, “buka mulutmu”. Lalu, beliau meniup 7 kali ke dalam
mulutku kemudian berkata, ”bicaralah dan ajak mereka ke jalan Allah dengan
hikmah dan peringatan yang baik”. Setelah itu, aku shalat dzuhur dan duduk
serta mendapati jumlah yang sangat luar biasa banyaknya sehingga membuatku
gemetar. Kemudian aku melihat Ali r.a. datang dan berkata, “buka mulutmu”. Ia
lalu meniup 6 kali ke dalam mulutku dan ketika aku bertanya kepadanya mengapa
beliau tidak meniup 7 kali seperti yang dilakukan Rasulullah SAW, beliau
menjawab bahwa beliau melakukan itu karena rasa hormat beliau kepada RasuluLlah
SAW. Kemudian, aku berkata, “Pikiran, sang penyelam yang mencari mutiara
ma’rifah dengan menyelami laut hati, mencampakkannya ke pantai dada , dilelang
oleh lidah sang calo, kemudian dibeli dengan permata ketaatan dalam rumah yang
diizinkan Allah untuk diangkat”. Ia kemudian menyitir, “Dan untuk wanita
seperti Laila, seorang pria dapat membunuh dirinya dan menjadikan maut dan
siksaan sebagai sesuatu yang manis.”
Dalam beberapa manuskrip didapatkan
bahwa Syaikh Abdul Qadir al Jaelani berkata, ”Sebuah suara berkata kepadaku
saat aku berada di pengasingan diri, “kembali ke Baghdad dan ceramahilah
orang-orang”. Aku pun ke Baghdad dan menemukan para penduduknya dalam kondisi
yang tidak aku sukai dan karena itulah aku tidak jadi mengikuti mereka”.
“Sesungguhnya” kata suara tersebut, “Mereka akan mendapatkan manfaat dari
keberadaan dirimu”. “Apa hubungan mereka dengan keselamatan
agamaku/keyakinanku” tanyaku. “Kembali (ke Baghdad) dan engkau akan mendapatkan
keselamatan agamamu” jawab suara itu.
Aku pun menbuat 70 perjanjian dengan
Allah. Di antaranya adalah tidak ada seorang pun yang menentangku dan tidak ada
seorang muridku yang meninggal kecuali dalam keadaan bertaubat. Setelah itu,
aku kembali ke Baghdad dan mulai berceramah.
Beberapa Kejadian Penting
Suatu ketika, saat aku berceramah
aku melihat sebuah cahaya terang benderang mendatangi aku. “Apa ini dan ada
apa?” tanyaku. “Rasulullah SAW akan datang menemuimu untuk memberikan selamat”
jawab sebuah suara. Sinar tersebut semakin membesar dan aku mulai masuk dalam
kondisi spiritual yang membuatku setengah sadar. Lalu, aku melihat RasuLullah
SAW di depan mimbar, mengambang di udara dan memanggilku, “Wahai Abdul Qadir”.
Begitu gembiranya aku dengan kedatangan Rasulullah SAW, aku melangkah naik ke
udara menghampirinya. Ia meniup ke dalam mulutku 7 kali. Kemudian Ali datang
dan meniup ke dalam mulutku 3 kali. “Mengapa engkau tidak melakukan seperti
yang dilakukan Rasulullah SAW?” tanyaku kepadanya. “Sebagai rasa hormatku
kepada Rasulullah SAW” jawab beliau.
Rasulullah SAW kemudian memakaikan
jubah kehormatan kepadaku. “apa ini?” tanyaku. “Ini” jawab Rasulullah, “adalah
jubah kewalianmu dan dikhususkan kepada orang-orang yang mendapat derajad Qutb
dalam jenjang kewalian”. Setelah itu, aku pun tercerahkan dan mulai berceramah.
Saat Khidir as. Datang hendak
mengujiku dengan ujian yang diberikan kepada para wali sebelumku, Allah
membukakan rahasianya dan apa yang akan dikatakannya kepadaku. Aku berkata
kepadanya, ”Wahai Khidir, apabila engkau berkata kepadaku, “Engkau tidak akan
sabar kepadaku”, aku akan berkata kepadamu, “Engkau tidak akan sabar kepadaku”.
“Wahai Khidir, Engkau termasuk golongan Israel sedangkan aku termasuk golongan
Muhammad, inilah aku dan engkau. Aku dan engkau seperti sebuah bola dan
lapangan, yang ini Muhammad dan yang ini ar Rahman, ini kuda berpelana, busur
terentang dan pedang terhunus.”
Al-Khattab pelayan Syaikh Abdul
QAdir meriwayatkan bahwa suatu hari ketika beliau sedang berceramah tiba-tiba
beliau berjalan naik ke udara dan berkata, “Hai orang Israel, dengarkan apa
yang dikatakan oleh kaum Muhammad” lalu kembali ke tempatnya. Saat ditanya mengenai
hal tersebut beliau menjawab, ”Tadi Abu Abbas al Khidir as lewat dan aku pun
berbicara kepadanya seperti yang kalian dengar tadi dan ia berhenti”.
Hubungan Guru dan Murid
Guru dan teladan kita Syaikh Abdul
Qadir al Jilli berkata, ”Seorang Syaikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak
spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam
dirinya.
1. Dua karakter dari Allah yaitu dia
menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu
penyayang dan lembut.
3. Dua karakter dari Abu Bakar yaitu
jujur dan dapat dipercaya.
4. Dua karakter dari Umar yaitu amar
ma’ruf nahi munkar.
5. Dua karakter dari Utsman yaitu
dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
6. Dua karakter dari Ali yaitu aalim
(cerdas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan
di atas dalam bait syair yang dinisbatkan kepada beliau dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat
dalam diri seorang syaikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui
hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan
ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya
sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syaikh Abdul Qadir juga menyatakan
bahwa Syaikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita
untuk menilai seorang syaikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis
dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Menurut saya (penulis buku) yang
harus dimiliki seorang syaikh ketika mendidik seseorang adalah dia menerima si
murid untuk Allah, bukan untuk dirinya atau alasan lainnya. Selalu menasihati
muridnya, mengawasi muridnya dengan pandangan kasih. Lemah lembut kepada
muridnya saat sang murid tidak mampu menyelesaikan riyadhah. Dia juga harus
mendidik si murid bagaikan anak sendiri dan orang tua penuh dengan kasih dan
kelemahlembutan dalam mendidik anaknya. Oleh karena itu, dia selalu memberikan
yang paling mudah kepada si murid dan tidak membebaninya dengan sesuatu yang
tidak mampu dilakukannya. Dan setelah sang murid bersumpah untuk bertobat dan
selalu taat kepada Allah baru sang syaikh memberikan yang lebih berat
kepadanya. Sesungguhnya bai’at bersumber dari hadits Rasulullah SAW ketika beliau
mengambil bai’at para sahabatnya.
Kemudian dia harus mentalqin si
murid dengan zikir lengkap dengan silsilahnya. Sesungguhnya Ali ra. bertanya
kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk
sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya.
Rasulullah berkata, “Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada
Allah dalam khalwat (kontemplasinya)”. Kemudian, Ali ra. kembali berkata,
“Hanya demikiankah fadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir”. Rasulullah
berkata, “Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini
selama masih ada orang yang mengucapkan ‘Allah’, ‘Allah’. “Bagaimana aku
berzikir?” tanya Ali. Rasulullah bersabda, “Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku
akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau
mengulanginya sebanyak tiga kali pula”. Lalu, Rasulullah berkata, “Laa ilaaha
illallah” sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan
tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah
lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa ilaaha Illallah. Semoga Allah
memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syaikh Abdul Qadir berkata, ”Kalimat
tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir
bersilsilah kepada Rasullullah oleh mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut”.
Karena itulah Syaikh Abdul Qadir
selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan
diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Lain-Lain
Kesimpulannya beliau adalah seorang
‘ulama besar. Apabila sekarang ini banyak kaum muslimin menyanjung-nyanjungnya
dan mencintainya, maka itu adalah suatu kewajaran. Bahkan suatu keharusan. Akan
tetapi kalau meninggi-ninggikan derajat beliau di atas Rasulullah
shollallahu’alaihi wasalam, maka hal ini merupakan kekeliruan yang fatal.
Karena Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasalam adalah rasul yang paling mulia
diantara para nabi dan rasul. Derajatnya tidak akan terkalahkan disisi Allah
oleh manusia manapun. Adapun sebagian kaum muslimin yang menjadikan Syeikh
Abdul Qadir Al Jailani sebagai wasilah ( perantara ) dalam do’a mereka,
berkeyakinan bahwa do’a seseorang tidak akan dikabulkan oleh Allah, kecuali
dengan perantaranya. Ini juga merupakan kesesatan. Menjadikan orang yang
meninggal sebagai perantara, maka tidak ada syari’atnya dan ini diharamkan.
Apalagi kalau ada orang yang berdo’a kepada beliau. Ini adalah sebuah
kesyirikan besar. Sebab do’a merupakan salah satu bentuk ibadah yang tidak
diberikan kepada selain Allah. Allah melarang mahluknya berdo’a kepada selain
Allah. “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka
janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya disamping (menyembah ) Allah.
( QS. Al-Jin : 18 )”
Jadi sudah menjadi keharusan bagi
setiap muslim untuk memperlakukan para ‘ulama dengan sebaik mungkin, namun
tetap dalam batas-batas yang telah ditetapkan syari’ah. Akhirnya mudah-mudahan
Allah senantiasa memberikan petunjuk kepada kita sehingga tidak tersesat dalam
kehidupan yang penuh dengan fitnah ini.
Pada tahun 521 H/1127 M, dia
mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal
masyarakat luas. Selama 25 tahun Abdul Qadir Jaelani menghabiskan waktunya sebagai
pengembara sufi di Padang Pasir Iraq dan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai
tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di
Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu
tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M),
diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Abdul
Qadir Jaelani, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad
pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir Jaelani juga
dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia
bernama Tarekat Qodiriyah.
No comments:
Post a Comment