Keluarga Sakinah, Modal Untuk Reuni Di Surga [1]
MAHA
SUCI Allah Subhanahu Wata’ala yang telah menciptakan makhluk-Nya
berpasang-pasangan. Berjenis laki-laki dan perempuan. Ada kutub positif
dan kutub negatif. Ada siang dan malam. Suka dan duka. Sedih dan
gembira. Jika bisa dikelola dengan baik, perputaran dan pergiliran dua
keadaan yang saling kontradiktif, kehidupan manusia menjadi dinamis dan
romantis.
Allah Subhanahu Wata’ala juga telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin (36) : 36)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah, Dia menciptakan bagimu, dari jenismu sendiri, pasangan-pasangannya, supaya kamu hidup tenteram bersamanya, dan dijadikan Allah bagimu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” (QS. Ar Rum (30) : 20-21).
Mitsaqan Ghalizha
Ayat ini ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala pada rangkaian ayat tentang tanda-tanda kebesaranNYA di alam semesta - tegaknya langit, terhamparnya bumi, turunnya air hujan, gemuruhnya suara halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dengan ayat di atas Allah Subhanahu Wata’ala ingin menegaskan dan mengajarkan kepada kita betapa Ia dengan sengaja menciptakan kekasih yang menjadi pasangan/pendamping setia hidup manusia.
Allah Subhanahu Wata’ala juga telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin (36) : 36)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. Di antara tanda-tanda keagungan Allah ialah, Dia menciptakan bagimu, dari jenismu sendiri, pasangan-pasangannya, supaya kamu hidup tenteram bersamanya, dan dijadikan Allah bagimu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi orang-orang yang mau berfikir.” (QS. Ar Rum (30) : 20-21).
Mitsaqan Ghalizha
Ayat ini ditempatkan Allah Subhanahu Wata’ala pada rangkaian ayat tentang tanda-tanda kebesaranNYA di alam semesta - tegaknya langit, terhamparnya bumi, turunnya air hujan, gemuruhnya suara halilintar, dan keajaiban penciptaan manusia. Dengan ayat di atas Allah Subhanahu Wata’ala ingin menegaskan dan mengajarkan kepada kita betapa Ia dengan sengaja menciptakan kekasih yang menjadi pasangan/pendamping setia hidup manusia.
Diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala bumi dengan segala yang ada di
atasnya – samudera luas, bukit tinggi, rimba belantara – untuk
kebahagiaan manusia. Diedarkan Allah Subhanahu Wata’ala mentari,
rembulan, gugusan bintang-gemintang, dijatuhkan-Nya hujan,
ditumbuhkan-Nya pepohonan, dan disirami-Nya tetanaman, semua karunia itu
untuk kebahagiaan manusia.
Tetapi, Allah Subhanahu Wata’ala Yang Maha Mengetahui memberikan
lebih daripada itu. Diketahui-Nya getar dada kerinduan hati. Yaitu
bersanding sehidup semati dengan si jantung hati. Betapa sering kita
memerlukan seseorang yang mau mendengar bukan saja kata yang diucapkan,
melainkan juga jeritan hati yang tidak terungkapkan, yang bersedia
menerima segala perasaan – tanpa pura-pura, prasangka, dan pamrih.
Karena itu diciptkan-Nya seorang kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu,
pada saat kita diharu biru, diempas ombak, diguncang badai, dan dilanda
duka, kita memerlukan seseorang yang mampu meniupkan kedamaian,
mengobati luka, menopang tubuh yang lemah, dan memperkuat hati – tanpa
pura-pura, prasamgka, dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang
kekasih. Allah Subhanahu Wata’ala tahu, kadang-kadang kita berdiri
sendirian lantaran keyakinan atau mengejar impian. Kita memerlukan
seseorang yang bersedia berdiri di samping kita tanpa pura-pura,
prasangka dan pamrih. Karena itu diciptakan-Nya seorang kekasih.
Supaya hubungan antara pencinta dan kekasihnya itu menyuburkan
ketentraman, cinta, dan kasih sayang, Allah Subhanahu Wata’ala
menetapkan suatu ikatan suci, yaitu aqad nikah. Dengan ijab (penyerahan) dan qobul (penerimaan)
terjadilah perubahan besar: yang haram menjadi halal, yang masiat
menjadi ibadat, kekejian menjadi kesucian, dan kebebasan menjadi
tanggung jawab. Nafsu pun berubah menjadi cinta (mawaddah) dan kasih (rahmah) dan ulfah (hubungan yang jinak).
Begitu besarnya perubahan itu sehingga Al Quran menyebut aqad nikah sebagai mitsaqan ghalizha (perjanjian yang berat). Hanya tiga kali kata ini disebut di dalam Al Quran.
Pertama, ketika Allah Subhanahu Wata’ala membuat perjanjian dengan para Nabi – Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad saw.
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
وَإِذْ أَخَذْنَا مِنَ النَّبِيِّينَ مِيثَاقَهُمْ وَمِنكَ وَمِن نُّوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi
dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, musa, dan Isa putera Maryam,
dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang berat.” (QS: Al Ahzab (33): 7).
Kedua, ketika Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat Bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala
وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُواْ الْبَابَ سُجَّداً وَقُلْنَا لَهُمْ لاَ تَعْدُواْ فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Kedua, ketika Allah Subhanahu Wata’ala mengangkat Bukit Thur di atas kepala bani Israil dan menyuruh mereka bersumpah setia di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala
وَرَفَعْنَا فَوْقَهُمُ الطُّورَ بِمِيثَاقِهِمْ وَقُلْنَا لَهُمُ ادْخُلُواْ الْبَابَ سُجَّداً وَقُلْنَا لَهُمْ لاَ تَعْدُواْ فِي السَّبْتِ وَأَخَذْنَا مِنْهُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
“Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina
karena (mengingkari) perjanjian (yang telah Kami ambil dari) mereka. Dan
Kami perintahkan kepada mereka : Masukilah pintu gerbang itu sambil
bersujud, dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka : Janganlah kamu
melanggar peraturan mengenai hari Sabtu, dan Kami telah mengambil dari
mereka perjanjian yang berat.” (QS: An Nisa (4) : 154).
Ketiga, ketika Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan hubungan pernikahan (QS. An Nisa (4) : 21).
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
Ketiga, ketika Allah Subhanahu Wata’ala menyatakan hubungan pernikahan (QS. An Nisa (4) : 21).
وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنكُم مِّيثَاقاً غَلِيظاً
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu
telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang
kuat.”
Mitsaqan ghalizha berarti kita sepakat untuk menegakkan dinul islam dalam rumah, sepakat untuk membina rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah serta ulfah. Sepakat meninggalkan masiat. Sepakat saling mencintai karena Allah Subhanahu Wata’ala. Menghormati dan menghargai. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling menguatkan keimanan. Saling menasihati dalam menetapi kebenaran dan saling memberi nasihat dengan kasih sayang. Saling setia dalam suka dan duka, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat.
Mitsaqan ghalizha berarti kita sepakat untuk menegakkan dinul islam dalam rumah, sepakat untuk membina rumah tangga sakinah, mawaddah dan rahmah serta ulfah. Sepakat meninggalkan masiat. Sepakat saling mencintai karena Allah Subhanahu Wata’ala. Menghormati dan menghargai. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saling menguatkan keimanan. Saling menasihati dalam menetapi kebenaran dan saling memberi nasihat dengan kasih sayang. Saling setia dalam suka dan duka, kefakiran dan kekayaan, sakit dan sehat.
Pernikahan juga bermakna sepakat meniti hari demi hari dengan
kebersamaan. Sepakat untuk saling melindungi dan menjaga. Saling
memberikan rasa aman. Saling mempercayai dan menutup aib. Saling
mencurahkan dan menerima keluhan dan perasaan. Saling berlomba dalam
beramal. Saling memaafkan kesalahan. Saling menyimpan dendam dan amarah.
Pernikahan berarti pula sepakat untuk tidak melakukan penyimpangan. Tidak saling menyakiti perasaan dan pisik. Juga sepakat untuk mengedepankan sikap lemah lembut dalam ucapan, santun dalam pergaulan, indah dalam penampilan, mesra dalam mengungkapkan keinginan.
Ijab Qabul, Bukan Peristiwa Kecil
Karena itu peristiwa aqad nikah bukanlah kejadian kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Akad nikah sama tingginya dengan perjanjian para rasul, sama dahsyatnya dengan perjanjian bani Israil di bawah bukit Thursina yang bergantung diatas kepala mereka.
Peristiwa aqad nikah tidak saja disaksikan oleh kedua orangtua, sudara-saudara, dan sahabat-sahabat, sanak famili, handai taulan, tetangga, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali disaksikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala Penguasa alam semesta.
Pernikahan berarti pula sepakat untuk tidak melakukan penyimpangan. Tidak saling menyakiti perasaan dan pisik. Juga sepakat untuk mengedepankan sikap lemah lembut dalam ucapan, santun dalam pergaulan, indah dalam penampilan, mesra dalam mengungkapkan keinginan.
Ijab Qabul, Bukan Peristiwa Kecil
Karena itu peristiwa aqad nikah bukanlah kejadian kecil di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Akad nikah sama tingginya dengan perjanjian para rasul, sama dahsyatnya dengan perjanjian bani Israil di bawah bukit Thursina yang bergantung diatas kepala mereka.
Peristiwa aqad nikah tidak saja disaksikan oleh kedua orangtua, sudara-saudara, dan sahabat-sahabat, sanak famili, handai taulan, tetangga, tetapi juga disaksikan oleh para malaikat di langit yang tinggi, dan terutama sekali disaksikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala Penguasa alam semesta.
Bila perjanjian ini disia-siakan, diceraikan ikatan tali hubungan
yang sudah terbuhul, diputuskan janji setia yang telah terpatri, kita
tidak saja harus bertanggung jawab kepada semua yang hadir menyaksikan
peristiwa yang berkesan itu, tetapi juga bertanggung jawab di hadapan
Allah Subhanahu Wata’ala Swt.
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلىَ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا (رواه البخاري ومسلم)
وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلىَ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا (رواه البخاري ومسلم)
“Laki-laki adalah pemimpin di tengah keluarganya, dan ia harus
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Wanita adalah pemimpin di rumah
suaminya, dan ia harus mempertanggungjawabkan kepemimpinannya.” (HR. Bukhari Muslim).
Kata Rasulullah, “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya.” (Al Hadits).
Mengapa Kita Memelihara Ikatan Itu ?
Mengapa Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara aqad nikah yang sakral ini? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami dan isteri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala?
Kata Rasulullah, “Yang paling baik di antara kamu adalah yang paling baik dan paling lembut terhadap keluarganya.” (Al Hadits).
Mengapa Kita Memelihara Ikatan Itu ?
Mengapa Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya mewasiatkan agar kita memelihara aqad nikah yang sakral ini? Mengapa kebaikan manusia diukur dari cara dia memperlakukan keluarganya? Mengapa suami dan isteri harus mempertanggungjawabkan peran yang dilaksanakan di hadapan Allah Subhanahu Wata’ala?
Jawabannya sederhana: Karena Allah Subhanahu Wata’ala Maha Mengetahui
bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia sangat tergantung pada
hubungan mereka dengan orang-orang yang dicintai mereka, yakni dengan
keluarganya. Bila di dunia ini ada surga, kata Marie von Ebner
Eschenbach, surga itu adalah pernikahan yang bahagia. Tetapi, bila di
dunia ini ada neraka, neraka itu adalah pernikahan yang gagal. Para
psikolog menyebutkan persoalan rumah tangga sebagai penyebab stress yang
paling besar dalam kehidupan manusia.
Karena itulah, Islam dengan penuh perhatian mengatur urusan rumah
tangga. Sebuah ayat pernah diturunkan dari langit hanya untuk mengatur
urusan pernikahan antara Zainab dan Zaid bin Haritsah. Sebuah surat
turun untuk mengatur urusan rumah tangga seluruh kaum muslimin. Ribuan
tahun yang silam, di Padang Arafah, di hadapan ratusan ribu ummat islam
yang pertama, Rasulullah saw. menyampaikan khotbah perpisahan.اَيُّهَا النَّاسُ فَا تَّقُوا اللهَ فِي النِّسَاءِ فَاِنَّكُمْ اَخَذْتُمُوْهُنَّ بِأَمَانَةِ اللهِ وَاسْتَحْلَلْكُمْ فُرُوْجَهُنَّ بِكَلِمَةِ اللهِ , اِنَّ لَكُمْ عَلىَ نِسَائِكُمْ حَقًّا , وَلِنِسَائِكُمْ عَلَيْكُمْ حَقًّا أَلاَ وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَاِنَّهُنَّ عَوَانٌ عِنْدَكُمْ , لاَ يَمْلِكُنَّ ِلاَنْفُسِهِنَّ شَيْئًا وَلَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ شَيْئًا غَيْرَ ذَلِكَ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلاً
“Wahai manusia, takutlah kepada Allah Subhanahu Wata’ala akan urusan wanita. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai istri dengan amanat Allah Subhanahu Wata’ala. Kami halalkan kehormatan mereka dengan kalimah Allah Subhanahu Wata’ala. Sesungguhnya kamu mempunyai hak atas istrimu, dan istrimu pun mempunyai hak atasmu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap istri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memilih apa-apa untuk dirinya, dan kamu pun tidak memilih apa-apa dari diri mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya terhadap mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi).*
No comments:
Post a Comment