MALAM LAILATUL QADAR DALAM ALQURAN
بسم الله الرحمن الر حيم
إن
الحمد لله نحمده تعالى ونستعينه ونستغفره ، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات
أعمالنا ، من يهديه الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له ، واشهد أن لا إله إلا
الله وحده لا شريك له ، واشهد أن محمد عبده ورسوله
|
Al-qadar artinya keagungan. Dan dalam
ajaran Islam, ia telah diabadikan menjadi nama dari suatu malam di
antara malam-malam bulan Ramadhan. Itulah ” Lailatul-Qodar”. Malam di
mana sang hamba pada saat itu terbangun. Mensucikan diri. Menghadap
Tuhannya yang menciptakan dirinya dan seluruh alam yang ia diami. Malam,
yang sepenuhnya menyatu dalam kekhusukan sujud.
Malam, yang datang
seirama dengan dzikir dan tangis sang hamba di belahan bumi manapun; di
pojok-pojok masjid dan di rumah-rumah di tengah keterpencilan kampung.
Di malam itulah, ia
telah menemukan identitas kehambaan yang sebenarnya. Ia telah terbebas
dari penyakit ‘Riyak’ (ingin dipuji orang), ketika ia sembahyang, dimana
semua manusia sedang nyenyak dalam tidur… ketika ia menagis
beristighfar, hanya di depan Tuhannya ( bukan di depan siapa-siapa,
bukan di depan uang dan patung dunia lainnya).
Demikianlah setidaknya, seorang hamba di Lailatul Qodar, itu. Dan
betapa kwalitas kehambaan itu kian lengkap, ketika ia memburu
malam-malamnya, seperti memburyu Lailatul qodar. ( Dan semoga kita
termasuk dalam model hamba yang semacam ini ameen).KEISTIMEWAAN LAILATUL QODAR.
Apa yang membuat malam Lailatul Qodar lebih agung dari malam-malam lainya?. Sedemikian rupa, sehingga keberadaan sang hamba di malam itu, bagai tenggelam dalam sebuah upacara yang sakral. Inilah sebuah pertanyaan, yang sejak dini telah dijawab oleh Allah SWT dalam al Qur’an, surat al Qodar;
“Sesungguhnya kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?. Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.”
Terlihat dalam surat
pendek ini, dari awal sampai akhir hanya melukiskan malam yang agung
dengan segala keistimewaannya. Dan setidaknya ada keistimewaan yang bisa
diraba dari gambaran tersebut:
a- Ia sebuah malam pertama kalinya diturunkan al-Qur’an kepada
Rasulullah saw. Karenanya, malam ini adalah malam yang penuh berkah.b- Ia sebuah malam yang dalam definisi Allah swt., lebih mulya dari pada seribu bulan:Suatu definisi yang menunjukan betapa agungnya kehadiran malam itu di tengah-tengah stuktur kehambaan manusia. Dan ternyata di malam itulah Allah swt. dengan segala kemaha kuasaan-Nya menjelaskan semua urusan yang mengandung hikmah.
Dari definisi Lebih baik dri seribu bulan ini, ada beberapa hal yang cukup penting untuk digaris bawahi, yaitu:
Pertama : seorang
mufasir kontemporer; Dr. Wahbah al Zuhaily mengatakan bahwa jika pada
malam itu seseorang melakukan amal baik, maka nilai perbuatan itu lebih
besar dibandingkan dengan seribu bulan perbuatan serupa di malam-malam
lainnya.
Kedua : dalam sebuah
riwayat yang dikishkan oleh imam Ibnu Abi hatim dan Al wahidy, bahwa
suatu hari Rasulullah saw. pernah menceritakan seorang di antara bani
Israil yang berjuang merangkul senjata di jalan Allah swt. selama seribu
bulan. Pada waktu itu, para sahabat terkagum-kagum terhadap kepribadian
mujahid yang diceritakan Rasulullah saw. itu. Sejak itulah Allah swt.
kemudian menurunkan surat al Qodar ini, yang menerangkan bahwa beribadah
di malam Lailatul qodar masih lebih utama dari seribu bulan berjihat di
jalan Allah swt.
Ketiga : dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh imam Bukhori dan Muslim Rasulullah saw. bersabda :
” Barang siapa bangun di malam Lailatul qodar dengan bekal iman seraya melakukan muhasabah; introspeksi diri maka pahalanya adalah ampunan atas segala dosa-dosanya yang telah lewat “.
c- Ia sebuah malam, yang di dalamnya Alllah swt. menurunkan
malaikat-malaikatNya, termasuk juga malaikat Jibril. Maksud pengiriman
delegasi para malaikat ini, seperti yang ditafsirkan olleh Dr, Wahbah Al
Zuhaily- tafsir al Munir- adalah untuk merekam segala perbuatan
manusia; berbentuk ketaatan maupun kemaksiatan.” Barang siapa bangun di malam Lailatul qodar dengan bekal iman seraya melakukan muhasabah; introspeksi diri maka pahalanya adalah ampunan atas segala dosa-dosanya yang telah lewat “.
d- Ia sebuah malam
yang menyimpan kedamaian, ketenangan dan barakah yang tiada
bandingannya. Dan kedamaian ini terus berlangsung hingga terbit fajar;.
Suatu kedamaian, yang dalam pandangan Dr Wahbah, ditandai dengan turunya
segala kebaikan dan barakah. Turunya para malaikat silih berganti
sambil menghantarkan rahmat Allah swt. Demikianlah suasana itu mengalir
bagai air bah, hingga menjelang fajar. pada waktu itu, malam menjadi
seperti sebuah mekanisme Illahiah yang berbeda dari malam-malam lainnya;
tiada balak (siksaan langsung dari Allah swt), tiada keleluasaan bagi
Syetan untuk beroprasi, dan meloloskan semua siasatnya. Karena di malam
itu, semua hamba pada menyatukan sujud di hadapan penciptanya; Allah
swt.
BAGAIMANA MENGETAHUI LAILATUL QODARPertama ; dalam riwayat imam Ahmad, Rasulullah saw bersabda bahwa lailatul Qodar turun pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Terutama pada malam-malam yang ganjil; ke sembilan, ketujuh, kelima, ketiga atau pada malam yang paling akhir.
Kedua ; Sebagian besar ulama’ meyakini bahwa malam Lailatul qodar itu turun pada malam ke 27 dari bulan Ramadhan. Dasar keyakinan itu adalah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Tirmizi bahwa Ziir Ibnu Jubais berkata kepada Ubai Ibnu Kaab bahwa saudara Ibnu Masud berkata: “Barang siapa (tidak pernah tidur malam) sepanjang tahun pasti akan mendapatkan malam lailatul qadar. Ubai berkata: semoga Allah swt. mengampuni Abi Abdirrohman (Ibnu MAsud). Dia sebenarnya mengetahui bahwa malam lailatul qadar itu turun pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Bahkan ia tahu bahwa lailatul qadar itu turun pada tanggal 27 Ramadhan. (tapi ia tidak menerangkan hal itu) supaya orang-orang tidak hanya bangun di malam itu saja. (untuk menguatkan perkataannya ini ) Ubai kemudian berrsumpah bahwa malam itu jatuh pada malam 27 Ramadhan. Ziir berkata kepada Ubai: dengan apa kau bisa berkata demikian wahai Abu Mundzir ? Ubai menjawab : dengan tanda-tanda yang telah diberitahukan oleh Rasulullah saw. yakni bahwa matahari pada waktu itu terbit dengan tanpa cahaya.
Ketiga : hal yang juga menandai hadirnya malam lailatul qadar ini, bisa di intip dari kenyataan alam; jika di pagi harinya matahari agak suram dan cahayanya tidak begitu terang , berarti di malam harinya, lailatul qadar telah turun. Itulah seperti yang di terangkan dalam riwayat berikut:
-
Riwayat Ibnu Abbas bahwa Rasululah saw. bersabda : Malam lailatul qadar hawanya sedang; tidak panas dan tidak dingin. Dan dipagi harinya matahari terbit dengan cahaya yang agak lemah dan kemerah-merahan.
-
Riwayat Jabir Ibnu Abdullah: Rasulullah saw. bersabda bahwa beliau melihat lailatul qadar , hawanya sedang, tidak panas dan tidak dingin. Cerah seperti berbulan. Pad waktu itu syetan pada terdiam hingga terbit fajar.
Jabir ra. dalam sebuah riwayat berkata : “saya pernah menyaksikan malam laulatul qadar. (Namun entah ) malam itu (tiba-tiba) hilang dari ingatan saya. (yang jelas) malam itu jatuh pada sepuluh hari terakhir dari malam-malam (bulan Ramadhan). Ia tampak cerah dan terang. Tidak panas dan tidak dingin . Terlihat seperti di sinari bulan. Pada waktu itu, tidak keluar syetan-syetan malam , hingga cahaya fajar memancar.”
Yang jelas, rahasia disembunyikannya lailatul qadar ini, banyak hikmahnya. Seperti disembunyikannya waktu kapan dari setiap hamba ini akan mati. Diantara hikmah yang paling pokok adalah agar masing-masing dari hamba ini kian bersungguh-sungguh untuk meningkatkan amal soleh dan menjauhi segala macam bentuk kemungkaran , sebagaimana ia harus bersungguh-sungguh dalam mengintai malam lailatul qadar. Seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw. :
تحروا ليلة القدر في العشر الأواخر من رمضان
Artinya : Intailah malam lailatul qadar, pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
Semoga uraian singkat ini ada mamfaatnya bagi penulis,khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya. Hasbiyallah wa ni’mal wakiil ni’mal maula wa ni’mannasiir…
Berbicara tentang Lailat Al-Qadar mengharuskan kita berbicara tentang surat Al-Qadar.
Surat
Al-Qadar adalah surat ke-97 menurut urutannya dalam Mushaf. Ia
ditempatkan sesudah surat Iqra'. Para ulama Al-Quran menyatakan
bahwa ia turun jauh sesudah turunnya surat Iqra'. Bahkan sebagian di
antara mereka menyatakan bahwa surat Al-Qadar turun setelah Nabi Saw.
berhijrah ke Madinah.
Penempatan
urutan surat dalam Al-Quran dilakukan langsung atas perintah Allah
Swt., dan dari perurutannya ditemukan keserasian-keserasian yang
mengagumkan.
Kalau
dalam surat Iqra' Nabi Saw. (demikian pula kaum Muslim) diperintahkan
untuk membaca, dan yang dibaca itu antara lain adalah Al-Quran, maka
wajar jika surat sesudahnya yakni surat Al-Qadar ini berbicara
tentang turunnya Al-Quran, dan kemuliaan malam yang terpilih
sebagai malam Nuzul Al-Quran.
Bulan
Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah
Lailat Al-Qadar, suatu malam yang oleh Al-Quran "lebih baik dari seribu
bulan."
Tetapi
apa dan bagaimana malam itu? Apakah ia terjadi sekali saja yakni malam
ketika turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu, atau terjadi
setiap bulan Ramadhan sepanjang masa? Bagaimana kedatangannya, apakah
setiap orang yang menantinya pasti akan mendapatkannya, dan benarkah
ada tanda-tanda fisik material yang menyertai kehadirannya (seperti
membekunya air, heningnya malam, dan menunduknya pepohonan dan
sebagainya)? Bahkan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat dan
sering muncul berkaitan dengan malam Al-Qadar itu.
Yang
pasti dan harus diimani oleh setiap Muslim berdasarkan pernyataan
Al-Quran bahwa, "Ada suatu malam yang bernama Lailat Al-Qadar,
dan bahwa malam itu adalah malam yang penuh berkah, di mana dijelaskan
atau ditetapkan segala urusan besar dengan penuh kebijaksanaan."
Sesungguhnya
Kami menurunkannya (Al-Quran) pada suatu malam, dan sesungguhnya
Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan semua urusan
yang penah hikmah, yaitu urusan yang besar di sisi Kami (QS Al-Dukhan [44]: 3-5).
Malam
tersebut terjadi pada bulan Ramadhan, karena kitab suci
menginformasikan bahwa ia diturunkan Allah pada bulan Ramadhan (QS
Al-Baqarah [2]: 185) serta pada malam Al-Qadar (QS Al-Qadr [97]: l).
Malam
tersebut adalah malam mulia. Tidak mudah diketahui betapa besar
kemuliannnya. Hal ini disyaratkan oleh adanya "pertanyaan" dalam
bentuk pengagungan, yaitu:
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Tiga
belas kali kalimat ma adraka terulang dalam Al-Quran, sepuluh di
antaranya mempertanyakan tentang kehebatan yang berkait dengan hari
kemudian, seperti: Ma adraka ma yaum al-fashl, dan
sebagainya. Kesemuanya merupakan hal yang tidak mudah dijangkau oleh
akal pikiran manusia, kalau enggan berkata mustahil dijangkaunya.
Tiga kali ma adraka sisa dari angka tiga belas itu adalah:
Tahukah kamu apakah yang datang pada malam hari itu? (QS Al-Thariq [86]: 2)
Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (QS Al-Balad [90]: 12)
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? (QS Al-Qadr [97]: 2)
Pemakaian
kata-kata ma adraka dalam Al-Quran berkaitan dengan objek pertanyaan
yang menunjukkan hal-hal yang sangat hebat, dan sulit dijangkau
hakikatnya secara sempurna oleh akal pikiran manusia.
Walaupun
demikian, sementara ulama membedakan antara pertanyaan ma
adraka dan ma yudrika yang juga digunakan Al-Quran dalam tiga
ayat.
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari berbangkit itu adalah dekat waktunya? (QS Al-Ahzab [33]: 63)
Dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat? (QS Al-Syura [42]: 17
Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan diri (dan dosa)? (QS 'Abasa [80]: 3).
Dua ayat pertama di atas mempertanyakan dengan ma yudrika
menyangkut waktu kedatangan kiamat, sedang ayat ketiga
berkaitan dengan kesucian jiwa manusia. Ketiga hal tersebut tidak
mungkin diketahui manusia.
Secara
gamblang Al-Quran --demikian pula As-Sunnah-- menyatakan bahwa
Nabi Saw. tak mengetahui kapan datangnya hari kiamat, tidak pula
mengetahui tentang~perkara yang gaib. Ini berarti bahwa ma yudrika
digunakan oleh Al-Quran untuk hal-hal yang tidak mungkin diketahui
walau oleh Nabi Saw. sendiri, sedang wa ma adraka, walau berupa
pertanyaan namun pada akhirnya Allah Swt. menyampaikannya kepada Nabi
Saw. Sehingga informasi lanjutan dapat diperoleh dari beliau.
Demikian perhedaan kedua kalimat tersebut.
Ini
berarti bahwa persoalan Lailat Al-Qadar, harus dirujuk kepada
Al-Quran dan Sunnah Rasulullah Saw., karena di sanalah kita dapat
memperoleh informasinya.
Kembali
kepada pertanyaan semula, apa malam kemuliaan itu? Apa arti malam
Qadar, dan mengapa malam itu dinamai demikian? Di sini ditemukan
berbagai jawaban.
Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti:
1.
Penetapan dan pengaturan sehingga Lailat Al-Qadar dipahami sebagai
malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Pendapat ini
dikuatkan oleh penganutnya dengan firman Allah dalam surat Ad-Dukhan
ayat 3 yang disebut di atas. (Ada ulama yang memahami penetapan itu
dalam batas setahun). Al-Quran yang turun pada malam Lailat Al-Qadar,
diartikan bahwa pada malam itu Allah Swt. mengatur dan menetapkan
khiththah dan strategi bagi Nabi-Nya Muhammad Saw., guna mengajak
manusia kepada agama yang benar, yang pada akhirnya akan menetapkan
perjalanan sejarah umat manusia baik sebagai individu maupun kelompok.
2.
Kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya.
Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran, serta
karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat
diraih. Kata qadar yang berarti mulia ditemukan dalam surat
Al-An'am (6): 91 yang berbicara tentang kaum musyrik:
Mereka
itu tidak memuliakan Allah dengan kemuliaan yang semestinya, tatkala
mereka berkata bahwa Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada
masyarakat.
3.
Sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyakuya
malaikat yang turun ke bumi, seperti yang ditegaskan dalam surat
Al-Qadr:
Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Ruh ((Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Kata qadar yang berarti sempit digunakan Al-Quran antara 1ain dalam surat A1-Ra'd (13): 26:
Allah melapangkan rezeki yang dikehendaki dan mempersempit (bagi yang dikehendaki-Nya).
Ketiga
arti tersebut pada hakikatnya dapat menjadi benar, karena
bukankah malam tersebut adalah malam mulia, yang bila diraih maka ia
menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu
malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan.
Namun demikian, sebelum kita melanjutkan bahasan tentang Laitat
Al-Qadar, maka terlebih dahulu akan dijawab pertanyaan tentang
kehadirannya adakah setiap tahun atau hanya sekali, yakni ketika
turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu?
Dari
Al-Quran kita menemukan penjelasan bahwa wahyu-wahyu Allah itu
diturunkan pada Lailat Al-Qadar. Akan tetapi karena umat sepakat
mempercayai bahwa Al-Quran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu
setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw., maka atas dasar logika itu, ada
yang berpendapat bahwa malam mulia itu sudah tidak akan hadir lagi.
Kemuliaan yang diperoleh oleh malam tersebut adalah karena ia
terpilih menjadi waktu turunnya Al-Quran.
Pakar
hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas
yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah
tidak akan datang lagi.
Pendapat
tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada
teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan
bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan
Rasululllah Saw. Menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa
menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil
setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
.......................
Demikian sabda Nabi Saw.
Memang
turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam
Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja
malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya
disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya
faktor intern pada malam itu sendiri.
Pendapat
di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari'
(present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti
kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa
datang.
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak
sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu
menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang
memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya
maupun tidak. Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai
oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan
riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya.
Seandainya,
sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu
pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan
diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak
mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang
dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali
oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu
tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat
rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak
sudi mampir menemuinya?
Demikian
juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi
bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan
itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh
malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa
manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai
satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia
itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw.
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung
di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila
jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat
Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya
menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan
sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang
bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan
kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu,
malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju
kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di
hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang
dikemukakan di atas!).
Syaikh
Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang
kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi ilustrasi
berikut:
Setiap
orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik
dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan
apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu
sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang
ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang
memutuskan sesuatu.
Yang
membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan
keburukan adalah setan atau paling tidak, kata 'Abduh, penyebab
adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Turunnya malaikat
pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri
menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai
oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan
kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa
aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar,
tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian
kelak.
Di
atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian
jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan
bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung
tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk
pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan
pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan
i'tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran,
atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Malam
Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika
beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan
masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah
Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga
terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan
perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan
kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu,
antara 1ain adalah melakukan i'tikaf.
Walaupun
i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja
--bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau sesaat selama dibarengi
oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh
hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus
dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa
ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan
dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk
memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena
doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu
juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan
yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas
dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun
menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya.
Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut
tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan
penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,
Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas ...
Hadis
ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat
berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat
Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga
malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.Pakar
hadis Ibnu Hajar menyebutkan satu riwayat dari penganut paham di atas
yang menyatakan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda bahwa malam qadar sudah
tidak akan datang lagi.
Pendapat
tersebut ditolak oleh mayoritas ulama, karena mereka berpegang kepada
teks ayat Al-Quran, serta sekian banyak teks hadis yang menunjukkan
bahwa Lailat Al-Qadar terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Bahkan
Rasululllah Saw. Menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan jiwa
menyambut malam mulia itu, secara khusus pada malam-malam ganjil
setelah berlalu dua puluh Ramadhan.
.......................
Demikian sabda Nabi Saw.
Memang
turunnya Al-Quran lima belas abad yang lalu terjadi pada malam
Lailat Al-Qadar, tetapi itu bukan berarti bahwa ketika itu saja
malam mulia itu hadir. Ini juga berarti bahwa kemuliaannya bukan hanya
disebabkan karena Al-Quran ketika itu turun, tetapi karena adanya
faktor intern pada malam itu sendiri.
Pendapat
di atas dikuatkan juga dengan penggunaan bentuk kata kerja mudhari'
(present tense) oleh ayat 4 surat Al-Qadr yang mengandung arti
kesinambungan, atau terjadinya sesuatu pada masa kini dan masa
datang.
Nah, apakah bila Lailat Al-Qadar hadir, ia akan menemui setiap orang yang terjaga (tidak tidur) pada malam kehadirannya itu?
Tidak
sedikit umat Islam yang menduganya demikian. Namun dugaan itu
menurut hemat penulis keliru, karena hal itu dapat berarti bahwa yang
memperoleh keistimewaan adalah yang terjaga baik untuk menyambutnya
maupun tidak. Di sisi 1ain berarti bahwa kehadirannya ditandai
oleh hal-hal yang bersifat fisik-material, sedangkan
riwayat-riwayat demikian, tidak dapat dipertanggungjawabkan
kesahihannya.
Seandainya,
sekali lagi seandainya, ada tanda-tanda fisik material, maka itu
pun takkan ditemui oleh orang-orang yang tidak mempersiapkan
diri dan menyucikan jiwa guna menyambutnya. Air dan minyak tidak
mungkin akan menyatu dan bertemu. Kebaikan dan kemuliaan yang
dihadirkan oleh Lailat Al-Qadar tidak mungkin akan diraih kecuali
oleh orang-orang tertentu saja. Tamu agung yang berkunjung ke satu
tempat, tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun
setiap orang di sana mendambakannya. Bukankah ada orang yang sangat
rindu atas kedatangan kekasih, namun ternyata sang kekasih tidak
sudi mampir menemuinya?
Demikian
juga dengan Lailat Al-Qadar. Itu sebabnya bulan Ramadhan menjadi
bulan kehadirannya, karena bulan ini adalah bulan penyucian jiwa, dan
itu pula sebabnya sehingga ia diduga oleh Rasul datang pada sepuluh
malam terakhir bulan Ramadhan. Karena, ketika itu, diharapkan jiwa
manusia yang berpuasa selama dua puluh hari sebelumnya telah mencapai
satu tingkat kesadaran dan kesucian yang memungkinkan malam mulia
itu berkenan mampir menemuinya, dan itu pula sebabnya Rasul Saw.
menganjurkan sekaligus mempraktekkan i'tikaf (berdiam diri dan merenung
di masjid) pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.
Apabila
jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan Lailat
Al-Qadar datang menemui seseorang, ketika itu, malam kehadirannya
menjadi saat qadar dalam arti, saat menentukan bagi perjalanan
sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang
bersangkutan adalah saat titik tolak guna meraih kemuliaan dan
kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu,
malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju
kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di
hari kemudian. (Perhatikan kembali makna-makna Al-Qadar yang
dikemukakan di atas!).
Syaikh
Muhammad 'Abduh, menjelaskan pandangan Imam Al-Ghazali tentang
kehadiran malaikat dalam diri manusia. 'Abduh memberi ilustrasi
berikut:
Setiap
orang dapat merasakan bahwa dalam jiwanya ada dua macam bisikan, baik
dan buruk. Manusia sering merasakan pertarungan antar keduanya, seakan
apa yang terlintas dalam pikirannya ketika itu sedang diajukan ke satu
sidang pengadilan. Yang ini menerima dan yang itu menolak, atau yang
ini berkata lakukan dan yang itu mencegah, sampai akhirnya sidang
memutuskan sesuatu.
Yang
membisikkan kebaikan adalah malaikat, sedang yang membisikkan
keburukan adalah setan atau paling tidak, kata 'Abduh, penyebab
adanya bisikan tersebut adalah malaikat atau setan. Turunnya malaikat
pada malam Lailatul Al-Qadar menemui orang yang mempersiapkan diri
menyambutnya, menjadikan yang bersangkutan akan selalu disertai
oleh malaikat. Sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan
kebaikan-kebaikan, dan dia sendiri akan selalu merasakan salam (rasa
aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailat Al-Qadar,
tapi sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian
kelak.
Di
atas telah di kemukakan bahwa Nabi Saw. menganjurkan sambil
mengamalkan i'tikaf di masjid dalam rangka perenungan dan penyucian
jiwa. Masjid adalah tempat suci. Segala aktivitas kebajikan
bermula di masjid. Di masjid pula seseorang diharapkan merenung
tentang diri dan masyarakatnya, serta dapat menghindar dari hiruk
pikuk yang menyesakkan jiwa dan pikiran guna memperoleh tambahan
pengetahuan dan pengkayaan iman. Itu sebabnya ketika melaksanakan
i'tikaf, dianjurkan untuk memperbanyak doa dan bacaan Al-Quran,
atau bahkan bacaan-bacaan lain yang dapat memperkaya iman dan takwa.
Malam
Qadar yang ditemui atau yang menemui Nabi pertama kali adalah ketika
beliau menyendiri di Gua Hira, merenung tentang diri beliau dan
masyarakat. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah
Ar-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan membimbing beliau sehingga
terjadilah perubahan total dalam perjalanan hidup beliau bahkan
perjalanan hidup umat manusia. Karena itu pula beliau mengajarkan
kepada umatnya, dalam rangka menyambut kehadiran Lailat Al-Qadar itu,
antara 1ain adalah melakukan i'tikaf.
Walaupun
i'tikaf dapat dilakukan kapan saja, dan dalam waktu berapa lama saja
--bahkan dalam pandangan Imam Syafi'i, walau sesaat selama dibarengi
oleh niat yang suci-- namun Nabi Saw. selalu melakukannya pada sepuluh
hari dan malam terakhir bulan puasa. Di sanalah beliau bertadarus
dan merenung sambil berdoa.
Salah satu doa yang paling sering beliau baca dan hayati maknanya adalah:
Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebajikan di dunia dan kebajikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa neraka (QS Al-Baqarah [2]: 201).
Doa
ini bukan sekadar berarti permohonan untuk memperoleh kebajikan
dunia dan kebajikan akhirat, tetapi ia lebih-lebih lagi bertujuan untuk
memantapkan langkah dalam berupaya meraih kebajikan dimaksud, karena
doa mengandung arti permohonan yang disertai usaha. Permohonan itu
juga berarti upaya untuk menjadikan kebajikan dan kebahagiaan
yang diperoleh dalam kehidupan dunia ini, tidak hanya terbatas
dampaknya di dunia, tetapi berlanjut hingga hari kemudian kelak.
Adapun
menyangkut tanda alamiah, maka Al-Quran tidak menyinggungnya.
Ada beberapa hadis mengingatkan hal tersebut, tetapi hadis tersebut
tidak diriwayatkan oleh Bukhari, pakar hadis yang dikenal melakukan
penyaringan yang cukup ketat terhadap hadis Nabi Saw.
Muslim, Abu Daud, dan Al-Tirmidzi antara lain meriwayatkan melalui sahabat Nabi Ubay bin Ka'ab, sebagai berikut,
Tanda kehadiran Lailat Al-Qadr adalah matahari pada pagi harinya (terlihat) putih tanpa sinar.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan,
Tandanya adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas ...
Hadis
ini dapat diperselisihkan kesahihannya, dan karena itu kita dapat
berkata bahwa tanda yang paling jelas tentang kehadiran Lailat
Al-Qadar bagi seseorang adalah kedamaian dan ketenangan. Semoga
malam mulia itu berkenan mampir menemui kita.[]